Komik Hentay Menggangu Konsentrasi Pacar

Streaming

Streaming

Streaming

Streaming

Streaming

Streaming

Komik Hentai - Komik Dewasa - Komik Mesum.

Halo Para Pengunjung C N B!

Kali Ini Cerita Nafsu Birahi Menambahkan Materi Baru Agar Para Pengunjung Yang Suka Dengan Cerita Sex Dan Cerita Dewasa Tidak Jenuh Membaca Tulisan-tulisan Yang Panjang.

Materi Baru Tersebut Adalah Komik Hentai Atau Komik Mesum.

Pokoknya Dijamin Gak Kalah Seru Sensasinya Didandingin Membaca Cerita Sex Karena Penuh Dengan Gambar Yang Sangat Hot.

Yuk Langsung Aja Di Simak Postingan Pertama C N B:

Komik Hentai Menggangu Konsentrasi Pacar



















Bagai Mana Dengan Komik Hentay Nya?
Bagus Bukan!
Jangan Malas Untuk Membagikan Komik Hentai Ini Dan Baca Juga Komik Hentai Lainnya Dibawah Ini:

Related Posts:

Kuperawani Pacarku Berserta Ke Dua Adik Manisnya

Streaming

Streaming

Streaming

Streaming

Streaming

Streaming

Cerita Nafsu Birahi - Cerita ini berawal ketika aku pacaran dengan Dian. Dian adalah seorang gadis mungil dengan tubuh yang seksi dan dibalut oleh kulit yang putih mulus. Walaupun payudaranya tidak terlalu besar, ya… kira-kira berukuran 34 lah. Selama pacaran, kami belum pernah berhubungan badan. Hanya saja kalau nafsu sudah tidak bisa ditahan, biasanya kami melakukan oral seks. Dian memiliki dua orang adik perempuan yang cantik. Adiknya yang pertama, namanya Elsa, juga mempunyai kulit yang putih mulus.



Namun payudaranya jauh lebih besar daripada kakaknya. Menurut kakaknya, ukurannya 36B. Inilah yang selalu menjadi perhatianku kalau aku sedang ngapel ke rumah Dian. Payudaranya yang berayun-ayun kalau sedang berjalan, membuat penisku berdiri tegak karena membayangkan betapa enaknya memegang payudaranya. Sedangkan adiknya yang kedua masih kelas 2 SMP. Namanya Agnes. Tidak seperti kedua kakaknya, kulitnya berwarna sawo matang. Tubuhnya semampai seperti seorang model cat walk. Payudaranya baru tumbuh. Sehingga kalau memakai baju yang ketat, hanya terlihat tonjolan kecil dengan puting yang mencuat. Walaupun begitu, gerak-geriknya sangat sensual.


Pada suatu hari, saat di rumah Dian sedang tidak ada orang, aku datang ke rumahnya. Wah, pikiranku langsung terbang ke mana-mana. Apalagi Dian mengenakan daster dengan potongan dada yang rendah berwarna hijau muda sehingga terlihat kontras dengan kulitnya. Kebetulan saat itu aku membawa VCD yang baru saja kubeli. Maksudku ingin kutonton berdua dengan Dian. Baru saja hendak kupencet tombol play, tiba-tiba Dian menyodorkan sebuah VCD porno. “Hei, dapat darimana sayang?” tanyaku sedikit terkejut. “Dari teman. Tadi dia titip ke Dian karena takut ketahuan ibunya”, katanya sambil duduk di pangkuanku. “Nonton ini aja ya sayang. Dian kan belum pernah nonton yang kayak gini, ya?” pintanya sedikit memaksa. “Oke, terserah kamu”, jawabku sambil menyalakan TV. Beberapa menit kemudian, kami terpaku pada adegan panas demi adegan panas yang ditampilkan. Tanpa terasa penisku mengeras. Menusuk-nusuk pantat Dian yang duduk di pangkuanku. Dian pun memandang ke arahku sambil tersenyum. Rupanya dia juga merasakan. “Ehm, kamu udah terangsang ya sayang?” tanyanya sambil mendesah dan kemudian mengulum telingaku. Aku hanya bisa tersenyum kegelian. Lalu tanpa basa-basi kuraih bibirnya yang merah dan langsung kucium, kujilat dengan penuh nafsu. Jari-jemari Dian yang mungil mengelus-elus penisku yang semakin mengeras. Lalu beberapa saat kemudian, tanpa kami sadari ternyata kami sudah telanjang bulat. Segera saja Dian kugendong menuju kamarnya. Di kamarnya yang nyaman kami mulai melakukan foreplay. Kuremas payudaranya yang kiri. Sedangkan yang kanan kukulum putingnya yang mengeras. Kurasakan payudaranya semakin mengeras dan kenyal. Kuganti posisi. Sekarang lidahku liar menjilati vaginanya yang basah. Kuraih klitorisnya, dan kugigit dengan lembut. “Aahh… ahh… sa.. sayang, Dian udah nggak kuat… emh… ahh… Dian udah mau keluar… aackh… ahh… ahh!” Kurasakan ada cairan hangat yang membasahi mukaku. Setelah itu, kudekatkan penisku ke arah mulutnya. Tangan Dian meremas batangku sambil mengocoknya dengan perlahan, sedangkan lidahnya memainkan buah pelirku sambil sesekali mengulumnya. Setelah puas bermain dengan buah pelirku, Dian mulai memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Mulutnya yang mungil tidak muat saat penisku masuk seluruhnya.

Tapi kuakui sedotannya memang nikmat sekali. Sambil terus mengulum dan mengocok batang penisku, Dian memainkan puting susuku. Sehingga membuatku hampir ejakulasi di mulutnya. Untung masih dapat kutahan. Aku tidak mau keluar dulu sebelum merasakan penisku masuk ke dalam vaginanya yang masih perawan itu.

Saat sedang hot-hotnya, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Aku dan Dian terkejut bukan main. Ternyata yang datang adalah kedua adiknya. Keduanya spontan berteriak kaget. “Kak Dian, apa-apan sih? Gimana kalau ketahuan Mama?” teriak Agnes. Sedangkan Elsa hanya menunduk malu. Aku dan Dian saling berpandangan. Kemudian aku bergerak mendekati Agnes. Melihatku yang telanjang bulat dengan penis yang berdiri tegak, membuat Agnes berteriak tertahan sambil menutup matanya. “Iih… Kakak!” jeritnya. “Itunya berdiri!” katanya lagi sambil menunjuk penisku. Aku hanya tersenyum melihat tingkah lakunya. Setelah dekat, kurangkul dia sambil berkata, “Agnes, Kakak sama Kak Dian kan nggak ngapa-ngapain. Kita kan lagi pacaran. Yang namanya orang pacaran ya… kayak begini ini. Nanti kalo Agnes dapet pacar, pasti ngelakuin yang kayak begini juga. Agnes udah bisa apa belum?” tanyaku sambil mengelus pipinya yang halus. Agnes menggeleng perlahan. “Mau nggak Kakak ajarin?” tanyaku lagi. Kali ini sambil meremas pantatnya yang padat. “Mmh, Agnes malu ah Kak”, desahnya. “Kenapa musti malu? Agnes suka nggak sama Kakak?” kataku sambil menciumi belakang lehernya yang ditumbuhi rambut halus. “Ahh, i.. iya. Agnes udah lama suka ama Kakak. Tapinya nggak enak sama Kak Dian”, jawabnya sambil memejamkan mata. Tampaknya Agnes menikmati ciumanku di lehernya. Setelah puas menciumi leher Agnes, aku beralih ke Elsa. “Kalo Elsa gimana? Suka nggak ama Kakak?” Elsa mengangguk sambil kepalanya masih tertunduk. “Ya udah. Kalo gitu tunggu apa lagi”, kataku sambil menggandeng keduanya ke arah tempat tidur. Elsa duduk di pinggiran tempat tidur sambil kusuruh untuk mengulum penisku. Pertamanya sih dia nggak mau, tapi setelah kurayu sambil kuraba payudaranya yang besar itu, Elsa mau juga. Bahkan setelah beberapa kali memasukkan penisku ke dalam mulutnya, Elsa tampaknya sangat menikmati tugasnya itu. Sementara Elsa sedang memainkan penisku, aku mulai merayu Agnes. “Agnes, bajunya Kakak buka ya?” pintaku sedikit memaksa sambil mulai membuka kancing baju sekolahnya. Lalu kulanjutkan dengan membuka roknya. Ketika roknya jatuh ke lantai, terlihat CD-nya sudah mulai basah. Segera saja kulumat bibirnya dengan bibirku.

Lidahku bergerak-gerak menjilati lidahnya. Agnes pun kemudian melakukan hal yang sama. Sambil tetap menciumi bibirnya, tanganku bermaksud membuka BH-nya. Tapi segera ditepiskannya tanganku. “Jangan Kak, malu. Dada Agnes kan kecil”, katanya sambil menutupi dadanya dengan tangannya. Dengan tersenyum kuajak dia menuju ke kaca yang ada di meja rias. Kusuruh dia berkaca. Sementara aku ada di belakangnya. “Dibuka dulu ya!” kataku membuka kancing BH-nya sambil menciumi lehernya. Setelah BH-nya kujatuhkan ke lantai, payudaranya kuremas perlahan sambil memainkan putingnya yang berwarna coklat muda dan sudah mengeras itu. “Nah, kamu lihat sendiri kan. Biar dada kamu kecil, tapi kan bentuknya bagus. Lagian kamu kan emang masih kecil, wajar aja kalo dada kamu kecil. Nanti kalo udah gede, dada kamu pasti ikutan gede juga”, kataku sambil mengusapkan penisku ke belahan pantatnya. Agnes mendesah keenakan. Kepalanya bersandar ke dadaku. Tangannya terkulai lemas. Hanya nafasnya saja yang kudengar makin memburu. Segera kugendong dia menuju ke tempat tidur.

Kutidurkan dan kupelorotkan CD-nya. Bulu kemaluannya masih sangat jarang. Menyerupai bulu halus yang tumbuh di tangannya. Kulebarkan kakinya agar mudah menuju ke vaginanya. Kucium dengan lembut sambil sesekali kujilat klitorisnya. Sementara Elsa kusuruh untuk meremas-remas payudaranya adiknya itu. “Aahh… ach… ge… geli Kak. Tapi nikmat sekali, aahh terus Kak. Jangan berhenti. Mmh… aahh… ahh.” Setelah puas dengan vagina Agnes. Aku menarik Elsa menjauh sedikit dari tempat tidur. Dian kusuruh meneruskan. Lalu dengan gaya 69, Dian menyuruh Agnes menjilati vaginanya. Sementara itu, aku mulai mencumbu Elsa. Kubuka kaos ketatnya dengan terburu-buru. Lalu segera kubuka BH-nya. Sehingga payudaranya yang besar bergoyang-goyang di depan mukaku. “Wow, tete kamu bagus banget. Apalagi putingnya, merah banget kayak permen”, godaku sambil meremas-remas payudaranya dan mengulum putingnya yang besar. Sedangkan Elsa hanya tersenyum malu. “Ahh, ah Kakak, bisa aja”, katanya sambil tangan kirinya mengelus kepalaku dan tangan kanannya berusaha manjangkau penisku.

Melihat dia kesulitan, segera kudekatkan penisku dan kutekan-tekankan ke vaginanya. Sambil mendesah keenakan, tangannya mengocok penisku. Karena kurasakan air maniku hampir saja muncrat, segera kuhentikan kocokannya yang benar-benar nikmat itu. Harus kuakui, kocokannya lebih nikmat daripada Dian. Setelah menenangkan diri agar air maniku tidak keluar dulu, aku mulai melorotkan CD-nya yang sudah basah kuyup. Begitu terbuka, terlihat bulu kemaluannya lebat sekali, walaupun tidak selebat Dian, sehingga membuatku sedikit kesulitan melihat vaginanya.

Setelah kusibakkan, baru terlihat vaginanya yang berair. Kusuruh Elsa mengangkang lebih lebar lagi agar memudahkanku menjilat vaginanya. Kujilat dan kuciumi vaginanya. Kepalaku dijepit oleh kedua pahanya yang putih mulus dan padat. Nyaman sekali pikirku. “aahh, Kak… Elsa mau pipiss…” erangnya sambil meremas pundakku. “Keluarin aja. Jangan ditahan”, kataku. Baru selesai ngomong, dari vaginanya terpancar air yang lumayan banyak. Bahkan penisku sempat terguyur oleh pipisnya. Wah nikmat sekali jeritku dalam hati. Hangat. Setelah selesai, kuajak Elsa kembali ke tempat tidur. Kulihat Dian dan Agnes sedang asyik berciuman sambil tangan keduanya memainkan vaginanya masing-masing.

Sementara di sprei terlihat ada banyak cairan. Rupanya keduanya sudah sempat ejakulasi. Karena Dian adalah pacarku, maka ia yang dapat kesempatan pertama untuk merasakan penisku. Kusuruh Dian nungging. “Sayang, Dian udah lama nunggu saat-saat ini”, katanya sambil mengambil posisi nungging. Setelah sebelumnya sempat mencium bibirku dan kemudian mengecup penisku dengan mesra. Tanpa berlama-lama lagi, kuarahkan penisku ke vaginanya yang sedikit membuka. Lalu mulai kumasukkan sedikit demi sedikit. Vaginanya masih sangat sempit. Tapi tetap kupaksakan. Dengan hentakan, kutekan penisku agar lebih masuk ke dalam. “Aachk! Sayang, sa… sakit! aahhck… ahhck…” Dian mengerang tetapi aku tak peduli. Penisku terus kuhunjamkan. Sehingga akhirnya penisku seluruhnya masuk ke dalam vaginanya. Kuistirahatkan penisku sebentar. Kurasakan vaginanya berdenyut-denyut. Membuatku ingin beraksi lagi. Kumulai lagi kocokan penisku di dalam vaginanya yang basah sehingga memudahkan penisku untuk bergerak. Kutarik penisku dengan perlahan-lahan membuatnya menggeliat dalam kenikmatan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Makin kupercepat kocokanku. Tiba-tiba tubuh Dian menggeliat dengan liar dan mengerang dengan keras.

Kemudian tubuhnya kembali melemas dengan nafas yang memburu. Kurasakan penisku bagai disemprot oleh air hangat. Rupanya Dian sudah ejakulasi. Kucabut penisku dari vaginanya. Terlihat ada cairan yang menetes dari vaginanya. “Kok ada darahnya sayang?” tanya Dian terkejut ketika melihat ke vaginanya. “Kan baru pertama kali”, balas Dian mesra. “Udah, nggak apa-apa. Yang penting nikmat kan sayang?” kataku menenangkannya sambil mengeluskan penisku ke mulut Elsa. Dian cuma tersenyum dan setelah kucium bibirnya, aku pindah ke Elsa. Sambil mengambil posisi mengangkang di atasnya, kudekatkan penisku ke mulutnya. Kusuruh mengulum sebentar. Lalu kuletakkan penisku di antara belahan payudaranya. Kemudian kudekatkan kedua payudaranya sehingga menjepit penisku. Begitu penisku terjepit oleh payudaranya, kurasakan kehangatan.

“Ooh… Elsa, hangat sekali. Seperti vagina”, kataku sambil memaju-mundurkan pinggulku. Elsa tertawa kegelian. Tapi sebentar kemudian yang terdengar dari mulutnya hanyalah desahan kenikmatan. Setelah beberapa saat mengocok penisku dengan payudaranya, kutarik penisku dan kuarahkan ke mulut bawahnya. “Dimasukin sekarang ya?” kataku sambil mengusapkan penisku ke bibir kewanitaannya. Kusuruh Elsa lebih mengangkang. Kupegang penisku dan kemudian kumasukkan ke dalam kewanitaannya. Dibanding Dian, vagina Elsa lebih mudah dimasuki karena lebih lebar. Kedua jarinya membuka kewanitaannya agar lebih gampang dimasuki. Sama seperti kakaknya, Elsa sempat mengerang kesakitan. Tapi tampaknya tidak begitu dipedulikannnya. Kenikmatan hubungan seks yang belum pernah dia rasakan mengalahkan perasaan apapun yang dia rasakan saat itu. Kupercepat kocokanku. “Aahh… aahh… aacchk… Kak terus Kak… ahh… ahh… mmh… aahh… Elsa udah mau ke… keluar.” Mendengar itu, semakin dalam kutanamkan penisku dan semakin kupercepat kocokanku. “Aahh… Kak… Elsa keluar! mmh… aahh… ahh…” Segera kucabut penisku. Dan kemudian dari bibir kemaluannya mengalir cairan yang sangat banyak.

“Elsa, nikmat khan?” tanyaku sambil menyuruh Agnes mendekat. “Enak sekali Kak. Elsa belum pernah ngerasain yang kayak gitu. Boleh kan Elsa ngerasain lagi?” tanyanya dengan mata yang sayu dan senyum yang tersungging di bibirnya. Aku mengangguk. Dengan gerakan lamban, Elsa pindah mendekati Dian. Yang kemudian disambut dengan ciuman mesra oleh Dian. “Nah, sekarang giliran kamu”, kataku sambil merangkul pundak Agnes. Kemudian, untuk merangsangnya kembali, kurendahkan tubuhku dan kumainkan payudaranya. Bisa kudengar jantungnya berdegup dengan keras. “Agnes jangan tegang ya. Rileks aja”, bujukku sambil membelai-belai vaginanya yang mulai basah. Agnes cuma mengangguk lemah. Kubaringkan tubuhku. Kubimbing Agnes agar duduk di atasku. Setelah itu kuminta mendekatkan vaginanya ke mulutku. Setelah dekat, segera kucium dan kujilati dengan penuh nafsu.

Kusuruh tangannya mengocok penisku. Beberapa saat kemudian, “Kak… aahh… ada yang… mau… keluar dari memek Agnes… aahh… ahh”, erangnya sambil menggeliat-geliat. “Jangan ditahan Agnes. Keluarin aja”, kataku sambil meringis kesakitan. Soalnya tangannya meremas penisku keras sekali. Baru saja aku selesai ngomong, vaginanya mengalir cairan hangat. “Aahh… aachk… nikmat sekali Kak… nikmat…” jerit Agnes dengan tangan meremas-remas payudaranya sendiri. Setelah kujilati vaginanya, kusuruh dia jongkok di atas penisku. Begitu jongkok, kuangkat pinggulku sehingga kepala penisku menempel dengan bibir vaginanya. Kubuka vaginanya dengan jari-jariku, dan kusuruh dia turun sedikit-sedikit. Vaginanya sempit sekali. Maklum, masih anak-anak. Penisku mulai masuk sedikit-sedikit. Agnes mengerang menahan sakit. Kulihat darah mengalir sedikit dari vaginanya. Rupanya selaput daranya sudah berhasil kutembus. Setelah setengah dari penisku masuk, kutekan pinggulnya dengan keras sehingga akhirnya penisku masuk semua ke vaginanya.

Hentakan yang cukup keras tadi membuat Agnes menjerit kesakitan. Untuk mengurangi rasa sakitnya, kuraba payudaranya dan kuremas-remas dengan lembut. Setelah Agnes merasa nikmat, baru kuteruskan mengocok vaginanya. Lama-kelamaan Agnes mulai menikmati kocokanku. Kunaik-turunkan tubuhnya sehingga penisku makin dalam menghunjam ke dalam vaginanya yang semakin basah. Kubimbing tubuhnya agar naik turun. “Aahh… aahh… aachk… Kak… Agnes… mau keluar… lagi”, katanya sambil terengah-engah. Selesai berbicara, penisku kembali disiram dengan cairan hangat. Bahkan lebih hangat dari kedua kakaknya. Begitu selesai ejakulasi, Agnes terkulai lemas dan memelukku. Kuangkat wajahnya, kubelai rambutnya dan kulumat bibirnya dengan mesra. Setelah kududukkan Agnes di sebelahku, kupanggil kedua kakaknya agar mendekat. Kemudian aku berdiri dan mendekatkan penisku ke muka mereka bertiga. Kukocok penisku dengan tanganku. Aku sudah tidak tahan lagi. Mereka secara bergantian mengulum penisku.

Membantuku mengeluarkan air mani yang sejak tadi kutahan. Makin lama semakin cepat. Dan akhirnya, crooottt… croott… creet… creet! Air maniku memancar banyak sekali. Membasahi wajah kakak beradik itu. Kukocok penisku lebih cepat lagi agar keluar lebih banyak. Setelah air maniku tidak keluar lagi, ketiganya tanpa disuruh menjilati air mani yang masih menetes. Lalu kemudian menjilati wajah mereka sendiri bergantian. Setelah selesai, kubaringkan diriku, dan ketiganya kemudian merangkulku. Agnes di kananku, Elsa di samping kiriku, sedangkan Dian tiduran di tubuhku sambil mencium bibirku. Kami berempat akhirnya tertidur kecapaian. Apalagi aku, sepanjang pengalamanku berhubungan seks, belum pernah aku merasakan yang senikmat ini. Dengan tiga orang gadis, adik kakak, masih perawan pula semuanya. That was the best day of my live.

Bagai Mana Ceritanya?
Bagus Bukan!
Jangan Malas Untuk Membagikan Cerita Sex Ini Ya!
Dan Baca Juga Cerita Sex Lainnya Dibawah Ini:

Related Posts:

Kenikmatan Saat Menggeluti Tubuh Kedua Anak Gadis Ku

Streaming

Streaming

Streaming

Streaming

Streaming

Streaming

Cerita Nafsu Birahi - Ketika aku mendekati pintu, suara-suara yang gugup semakin terdengar lebih jelas. Mantan istriku, Wati, yang kuceraikan delapan tahun yang lalu sedang memberikan perintah-perintahnya pada seseorang. Aku mendengar suara tawa yang renyah dari putri bungsuku, Erna yang berusia sembilan belas tahun, dan protes dari kakaknya, Endang, sang pengantin wanita.
Dalam usianya yang ke-21 tahun, muda dan keras kepala, saat menceritakan padaku kalo dia akan menikah, aku terdiam merasa kecewa dan terguncang, tapi aku menyembunyikannya dengan mendoakannya keberuntungan yang terbaik dan sebuah kehidupan yang selalu bahagia. Suara yang lain tidak aku kenal dan kutebak kalau itu adalah suara para pengiring pengantin, gugup dalam kebahagiaan mereka untuk yang lain, barangkali menantikan hari mereka sendiri.



Kurapikan dasi kupu-kupuku dengan bercermin di gang, aku melihat bayangan diriku dalam cermin, mengerutkan dahi merasa tak nyaman memakai pakaian resmi yang membatasi ini. Kuperhatikan diriku, rambutku masih terlihat hitam dan bersyukur karena kulihat bahwa sama sekali belum ada uban di usia 41 tahun ini. Wajahku terlihat keras karena tahun-tahun travellingku dan sering keluar masuk di lingkungan yang keras yang notabene penuh asap dan alkohol. Dan ketika aku mempelajari mata lelaki dalam cermin ini, aku mendapatkan gambaran akan kehidupan yang menghantarku hingga di sini. Aku jumpa Wati istriku saat kami berdua masih terlalu muda untuk membedakan mana yang baik, dan dia meyakinkanku si pemain gitar ini bahwa kami berdua akan bisa menaklukkan kerasnya dunia.
Dia adalah lulusan sebuah perguruan tinggi dengan pekerjaan tetap dan aku adalah seorang lelaki yang pergi bertualang dari kota satu ke kota lainnya berkeliling negeri ini. Anak-anak gadis kami lahir di awal perkawinan, yang membuat kami masih bertahan bersama sekitar lima tahun lamanya hingga akhirnya kami berdua menyadari bahwa hubungan ini sudah tak dapat dipertahankan lagi. Dia bertemu dengan seorang pria lain yang mempunyai sebuah kehidupan yang stabil, yang menurutnya akan lebih baik untuk kehidupan kedua putri kami.
Perceraian datang dan terjadi seperti perkiraan kami dan aku masih menetap di dekat mereka selama beberapa tahun sampai memperoleh sebuah lompatan besar sebagai pemusik studio di ibu kota. Sejak saat itu, aku mencoba yang terbaik agar tetap bisa berhubungan melalui telepon, lewat kiriman foto, dan tour keliling yang sekali-kali singgah di dekat situ. Dan saat aku menatap dalam kaca, aku melihat sebuah penyesalan yang terpancar ke luar.

“Ayah, apa yang Ayah lakukan?”
Aku kembali pada kesadaranku oleh suara putriku, Erna. Dia terlihat cantik bahkan di saat memakai baju pengiring pengantinnya yang menggelikan itu. Kulitnya yang kuning langsat dan rambutnya yang hitam pekat terlihat kontras dibandingkan dengan warna metalik dari pakaian itu. Dia tersenyum dalam kecantikannya yang lugu dan menatapku dengan bingung.
“Hanya mengenang masa lalu,” kataku.

“Saat seperti ini membuat kamu berpikir kalau kamu telah membuat keputusan yang salah. Bagaimana itu mempengaruhi hidup orang lain.” Dia menghiburku dengan pelukan dan mengusap bahu dan punggung lenganku.
“Ayah lakukan apa yang harus Ayah lakukan,” dia berkata.
“Aku tidak memusuhi Ayah. Aku akan melakukan hal yang sama bila berada dalam posisi tersebut. Aku akan lebih memilih pengalaman hidup dari pada mengambil keputusan seperti yang diambil Ibu.”
Pijatannya yang lembut menenangkan keteganganku, dan saat aku telah menjadi lebih santai aku sadari betapa aku menikmati dadanya yang menekan tubuhku. Dengan tinggiku yang sekitar dua belas centimeter lebih tinggi daripada Erna, aku menggerakkan tanganku dari punggungnya yang kecil naik ke bahunya yang telanjang dan menekannya agar merapat padaku. Dia membalas memelukku erat dan tersenyum dengan tidak berdosa. Kutundukkan kepalaku, dan memberinya sebuah ciuman ringan di atas dahinya, tetapi dia malah berjinjit pada jari kakinya dan dengan cepat menemukan bibirku.

“O-o.., sebaiknya Ibu tidak melihat. Dia mungkin akan cemburu. Atau Endang, mungkin.” dia tertawa genit. Aku tersenyum pada kelakarnya dan ketika dia berjalan sepanjang aula, aku tidak bisa mempercayai reaksinya pada perlakuanku yang dengan pelan memukul pantatnya.
“Mungkin nanti, Ayah bisa mencobanya saat aku tidak memakai pakaian gembung ini.”
Gaunnya turun hingga ke bawah lututnya dan itu terlihat indah, kaki-kaki itu laksana sebuah magnet yang membuat mataku lengket selalu menatapnya saat menggerakkan keindahan ini, saat wanita muda itu melenggang pergi. Aku membayangkan pantat yang manis dan kencang yang dia miliki. Aku juga membayangkan seperti apa rasanya pantat itu di dalam tanganku ketika dia menungganginya naik turun pada penisku, meneriakkan dengan histeris, “Setubuhi aku, Ayah. Setubuhi putri kecilmu. Masukkan penismu dalam vagina panas putrimu.” Saat kepergok sedang memandangi dan mengkhayalkannya, aku melihat ke arah putriku yang menengok ke belakang. Dia tersenyum dan menggelengkan kepalanya saat dia berbelok di ujung gang itu.

Kembali ke kenyataan, aku akan mengetuk pada pintu di mana pengantin wanita sedang bersiap-siap ketika mantan istriku Wati membuka pintu itu dan keluar.
“Rudi, kita harus bicara.” dia berkata dalam sebuah nada yang memperingatkan. Aku bergeser dari pintu untuk memberinya ruang.
“Endang ingin agar Anton yang berjalan di sepanjang karpet itu. Sekarang, kamu benar-benar tidak punya alasan untuk mengganggunya.”
“Aku tidak peduli,” aku menjawab deklarasinya. Aku merasa terluka, tapi rasa bersalahku akan kehidupanku berkata bahwa ini adalah konsekwensi dari keputusan hidupku yang lain.

“Aku harap aku bisa bicara dengannya sebelum upacara,” kulirik arlojiku. Masih ada waktu satu jam.
“Aku ingin meluruskan beberapa hal. Ingin mendoakan keberuntungannya. Hal-hal seperti itulah.”
“Itu bukan ide yang baik,” kata Wati.
“Dia sedang bingung dengan siapa dia akan berjalan di karpet itu nanti. Dia terlalu emosional dan gelisah sekarang.
Aku bilang padanya bahwa dia sudah membuat keputusan yang benar dan kamu akan memahami itu.”
Aku tidak ingin membuat masalah, dan aku bisa lihat aku tidak akan berusaha melewati sang penjaga pintu, maka kuanggukkan kepalaku dan berbalik. Aku berjalan ke dalam ruangan di mana sang pendeta sedang bersiap-siap dan berbicara dengannya untuk beberapa menit sebelum dia pergi untuk meyakinkan para pelayan altar agar tahu apa yang harus mereka lakukan. Dia berkata bahwa aku boleh tetap berada di sini jika aku ingin, kuambil tawarannya dan duduk pada sofa kulitnya menghadap jendela dan melihat orang-orang yang memakai setelan jas resmi dan gaun pesta ke dalam gereja. Pintu terbuka dan menutup di belakangku. Mengira kalau yang masuk adalah sang pendeta, aku berdiri dan bertanya..
“Apa pekerjaan mereka beres?”
“Beres?” tanya Erna.
“Ah. Aku pikir kamu si pendeta.” dia tertawa.

Erna menggantikan tempatku di sofa ketika aku berjalan di sekitar jendela dengan membayangkan hubungan seks sedarah kami. Kakinya bertumpu pada meja kopi di depan sofa menekuk lututnya saat dia mengayunkannya maju mundur, membuka dan menutup. Gaunnya yang mulai tersingkap ke atas pahanya yang memperlihatkan lebih banyak bagian dari paha dalamnya. Gaunnya tersingkap hingga di atas lututnya, suaranya menggesek maju mundur menyelimuti detak jantungku yang terus meningkat. Aku berjalan semakin dekat untuk senyuman lezat yang ingin kucicipi itu tetapi sadar kalau aku tidak bisa melakukannya.
Putriku yang berumur sembilan belas tahun itu sedang menggodaku. Aku sering melihat ‘groupies’ untuk mengetahui tentang apa arti dari godaan, tetapi groupies lebih blak-blakan. Semua orang tahu apa yang mereka inginkan. Ada sesuatu yang disembunyikan di sini, kami berdua tahu apa yang akan terjadi. Aku yakin kami berdua bukanlah orang ’suci’. Tapi godaan ini tak akan berakibat apa pun. Tidak ada apa pun yang bisa. Itu salah. Kami tidak bisa membiarkan sesuatu itu terjadi. Sesuatu yang bersifat seksual.

Dia membuka kakinya lebih lebar, seperti sebuah undangan agar datang menikmatinya. Gaunnya bergerak lebih tinggi dan aku menangkap sebuah pandangan sekilas dari sabuk stocking yang membungkus di sekitar paha indahnya. Erna menurunkan kakinya ke lantai dan aku takut kalau aku akan menerkamnya, aku telah berbuat keterlaluan dengan nafsu pada keindahan pahanya. Paha yang aku inginkan untuk melingkari tubuhku, yang kutelusuri dengan tanganku. Tetapi dia masih tersenyum saat aku memandangnya, memainkan pikiranku. Dia ingin agar aku duduk pada meja di depannya dan aku melakukannya, tidak ingin mengecewakan wanita muda ini.
“Tetaplah di sini,” dia berkata.
Aku mematuhi dan menutup wajahku dengan tangan, berusaha meredakan pikiranku yang penuh gairah. Aku ingin kehangatan dari seorang wanita, dan aku ingin merasakan kehangatan itu pada penisku. Aku ingin dadanya di tanganku, pahanya bergesekan dengan milikku. Aku menginginkan perhatian dan cintanya. Itu salah, atau kira-kira itulah yang mereka katakan, untuk bernafsu pada wanita yang aku inginkan. Tetapi melihatnya mengayunkan paha, menggesekkan ke depan dan ke belakang, membayangkan itu adalah vaginanya yang menggesek, menelan penisku, merintih dengan penuh gairah ketika aku memompa keluar masuk tubuhnya, aku telah sampai di garis tepi itu.

Tanganku menutupi wajahku, pikiranku menjadi liar. Aku mendengar suara pintu di seberang ruangan ditutup di belakangku yang diikuti oleh suara mengunci pintu itu. Sepertinya ada dua orang di sana. Aku mengintip dari tanganku dan melihat seorang pengantin wanita yang paling cantik dalam hidupku. Tingginya yang sama dengan adiknya, dia mempunyai sebuah wajah yang sama cantiknya dan bentuk tubuh sempurna yang tak berbeda. Jika rambutnya tidak lebih panjang, pasti akan sulit untuk membedakan mereka. Aku berdiri, penisku masih keras tapi tersembunyi oleh pakaian resmi yang kupakai. Malu dengan pemikiranku akan Erna, aku mendekati Endang yang mengenakan gaun pengantin anggun, menggairahkan.
“Sayang, kamu cantik sekali,” kataku.

Paha Endang yang terlihat menyembul dari balik gaun putihnya hampir membuatku meledak di dalam celana dalamku. Jasku sedang dibuka oleh seseorang di belakangku. Aku menoleh dan menemukan Erna. Keinginan yang penuh gairah kembali lagi. Endang tersenyum pada Erna dan melihat mata Endang, aku tahu putri bungsuku pasti tersenyum juga. Aku mulai untuk mencoba katakan sesuatu, tapi Endang memotong..
“Ayah,” dia berkata.
“Ayah yang manis, lembut..”, katanya lagi.
Dia bergerak semakin dekat kepadaku seiring kurasa tangan Erna mengelus lenganku kemudian menyeberang ke dadaku. Aku pikir aku sedang bermimpi dan aku ingin terbangun agar aku bisa segera melakukan masturbasi dan mengeluarkan bayangan ini dari pikiranku. Tapi ini bukan sebuah mimpi.

“Aku tahu Ayah merasa bahwa sepertinya Ayah sudah menelantarkan kami. Tapi, kami tahu bahwa Ayah sudah mencoba yang terbaik. Kami tahu bahwa Ibu saja yang sulit menerimanya.”
“Kami mencintai Ayah. Waktu yang pernah kita lewati bersama sangat berharga.” Erna menambahkan ketika dia tetap membelai dadaku, kemudian dia dengan lembutnya mencium leherku. Nafasnya yang halus menggetarkan tubuhku.
“Sebenarnya, kami sangat menginginkan Ayah,” kata Endang saat dia telah dengan sepenuhnya merapat.
“Ini adalah khayalanku,” katanya sebelum dengan singkat mencicipi bibirku.

Tanganku bergerak ke bawah gaun pengantinnya, meluncur di atas kedua pahanya. Dagingnya yang halus tidak mengenakan stocking. Saat tangan kiriku mencapai kelembabannya, rambut kemaluannya, aku tahu dia ingin disetubuhi. Penisku semakin keras saat lidah bernafsu Endang menjadi lebih agresif dan mengatakan padaku bahwa penis Ayahnya inilah yang dia inginkan di dalam vaginanya.

“Katakan pada Ayah betapa kamu sangat menginginkan dia, Endang.”
Erna sudah pindah dari belakangku ke belakang Endang. Saat aku sedang mengelus paha Endang dengan satu tangan dan menggoda bibir vaginanya dengan jari dari tangan yang lainnya, Erna sedang mengelus dada kakaknya dan mencium lehernya dan memegangi telinganya. Kemudian aku merasa tangan Erna bergabung dengan tanganku dalam merasakan vagina kakaknya yang basah.

“Ohh, ya, Ayah,” erang Endang lirih. Celana dalamku terlepas dan putriku mendapatkan penisku di dalam genggaman tangannya. Dia menyeka beberapa precum dengan jarinya dan menghisapnya ke dalam mulutnya sebelum menarikku kembali dalam sebuah ciuman.
“Aku ingin Ayah menyetubuhiku, Ayah. Setubuhi gadis kecilmu yang nakal ini.”
Vagina Endang yang panas adalah hal terbaik yang pernah dirasakan jariku, dan saat dia menjauh, mereka dibuatnya sedih. Tetapi dia lalu duduk di atas sofa, lutut ditekuk dan kaki mengangkang terbuka, seperti yang dilakukan Erna sebelumnya. Dia menyingkap gaunnya hingga dapat kulihat gundukan dagingnya yang menggairahkan di bawah gaun pengantinnya. Erna memanfaatkan kesempatan yang ditinggalkan kakaknya untuk berlutut dan mengambil penis kerasku ke dalam mulut mudanya. Aku membungkukkan kepalaku dan membelai rambutnya saat dia menghisap batang tebalku. Melalui mataku yang hampir terpejam, aku bisa melihat Endang yang memainkan kelentitnya, menjilat sari buahnya.

Endang tidak bisa membendungnya lagi, dan tak pasti berapa lama hisapan adiknya yang sempurna ini sanggup kuhadapi, sebab dia perintahkan padaku agar datang padanya.
“Kemarilah dan setubuhi aku, Ayah. Aku ingin penis besar Ayah di dalam vagina panasku sekarang. Aku ingin kita keluar bersama.”
Erna mendengar rintihan kakaknya dan melepaskanku dari genggamannya, mendekat ke Endang. Kedua putriku mulai saling mencium, Erna memberi kakak kandungnya sebuah rasa dari apa yang akan segera dialami vaginanya. Aku bergerak di antara paha Endang, meluncurkan tanganku pada daging yang paling berharga yang kutahu, putriku.
“Ohh, Sayang. Kamu sangat indah. Ayah tidak bisa mencegahnya. Penisku terasa sakit karena kamu.” Aku mengagumi kecantikan dan keindahannya dan mendekatkan wajahku pada vagina basahnya. Sari buahnya sangat merangsang dan lidahku melingkari bibirnya, mengambil cintanya di dalamnya.
“Ohh, Ayah,” desahnya saat aku menyisipkan lidahku sedalam-dalamnya, kemudian menarik keluar dan mencicipi daging yang melingkupi kelentitnya.

“Aku sangat ingin Ayah menyetubuhiku.”
Penisku tidak bisa kutahan lagi. Aku harus merasakan kehangatan putriku pada penisku. Aku bangkit dengan perasaan yang sangat bersemangat mendapatkan seorang wanita muda yang dengan sepenuhnya mengharapkanmu dalam hidupnya dan melihat Erna yang sedang menghisap puting susu kakaknya. Kupegang penisku mengarah ke daging basah Endang yang membuka, merasakan darahku terpompa di bawah jariku. Pelan-pelan kuselipkan dalam sebuah dorongan pendek, kehangatannya terasa berlimpah saat aku mempertimbangkan konsekwensi tindakan terlarang ini. Aku menginginkan wanita muda ini, putri kandungku sendiri.
Endang melingkarkan kakinya di punggungku, seolah-olah merasakan keraguanku, dan menarikku dengan penuh ke dalamnya.

“Kumohon, setubuhi aku. Ohh Tuhan, penis besar Ayah terasa hebat. Keluarlah di dalamku, Ayah. Aku ingin merasakan sperma Ayah menetes ke kakiku saat aku katakan janjiku di depan pendeta.”
“Ohh, sayang. Vaginamu sangat panas dan ketat di penis besar Ayah. Ini adalah vagina terbaik yang pernah kurasakan. Ayah ingin menyetubuhi kedua putriku melebihi apa pun di dunia ini.” aku memompanya dengan penuh cinta, tetapi perasaan ini tumbuh terlalu liar untuk dikendalikan.
“Katakan kamu ingin Ayahmu bagaimana, Sayang.”
“Ohh Tuhan. Aku keluar Ayah. Keluarlah bersamaku.” pinggulnya menusukkan vaginanya lebih ke dalam penisku.
“Setubuhi putrimu lebih keras,” Erna memerintahkan.
Aku memandang dari nafsu kusamku untuk melihat kedua anak gadisku saling melilitkan lidahnya dalam mulut mereka satu sama lain.
“Vaginamu sangat nikmat di penis kerasku, sayang. Ayah akan keluar. Aku mencintaimu sayang.”
Lalu, kedua tubuh kami meledak dalam sebuah orgasme yang tak terkendalikan. Gelombang demi gelombang spermaku kupompa ke dalam putriku, vaginanya memijat keluar tiap-tiap tetesan akhir, kakinya menekan pantatku merapat kepadanya. Kemudian penisku mengecil di dalam vagina Endang, dan aku memberinya sebuah ciuman penuh kasih.
“Aku mencintaimu, Endang. Akan kulakukan apa pun untukmu. Untuk kalian berdua.”
“Itu bagus,” kata Erna saat dia melangkah keluar dari pakaian pengiring pengantinnya, bra hitamnya dan sepatu bertumit tinggi yang dia kenakan, sangat cocok padanya.
“Sebab aku mulai cemburu melihat penis besar Ayah di dalam vagina Kakak.” dia menggantikan posisiku di antara kaki kakaknya ketika aku bergeser ke samping.
Putri-putriku yang nakal mulai saling berciuman dan aku memindahkan meja menjauh agar aku dapat berdiri di belakang Erna. Endang melepaskan bra adiknya yang memberi efek langsung pada penisku yang mengeras, tetapi itu masih belum sepenuhnya siap benar. Tanganku mengelus pinggul Erna ketika aku menggosokkan penisku pada pantat dan sela pahanya. Aku merasa dia akan bangkit, maka kuberi ruang padanya saat aku menyadari bahwa dia sedang turun pada kakaknya.

Mata Endang terpejam, tapi aku bisa melihat kesenangan yang murni pada wajahnya ketika adiknya mencicipi campuran dari orgasme adik dan ayahnya. Erna telah siap untuk disetubuhi. Dia membentangkan kakinya terpisah dan dengan sepatunya yang bertumit tinggi dan kepalanya turun pada kakaknya, pantatnya bergoyang dengan sempurna. Aku harus mencicipinya dulu. Maka aku turun ke atas lantai di antara kakinya, dan mengangkat kepalaku ke atas, mulai menjilati vagina basahnya. Dia membantuku dengan satu jarinya yang menggosok kelentitnya ketika aku menjilat ke dalam bibir vaginanya.

Rintihannya mengirimku ke garis tepi itu. Kami semua tidak mampu membendungnya lagi. Aku bangkit di belakangnya dengan tanganku memegangi pinggulnya, masih mengayun dan kakinya lebih jauh terpentang, lidahnya masih memberi kenikmatan pada kakaknya lebih lagi. Aku menatap pahanya, ditopang oleh tumitnya, dan teringat dia saat berjalan di sepanjang aula itu. Dengan memejamkan mata, aku menarik kami bersama, penis gemukku menekan jauh ke dalam vaginanya yang hangat dan basah.
“Ohh, Erna.” aku mengerang dalam masing-masing ayunanku yang lembut.
“Sayang, kamu sangat seksi.” tanganku meremas pantat dan pinggulnya yang bergerak seiring ayunanku.

“Melihatmu mengoral kakakmu membuat Ayah akan keluar lagi.”
“Ayah, penis besar Ayah terasa sangat nikmat bergerak keluar masuk. Pelanlah agar kita dapat keluar bersama.”
Aku memenuhi harapannya. Bergerak dengan penuh rasa nikmat dalam gerakan lambat saat aku ingin menusuknya yang terakhir kalinya dengan dalam, aku menahan diriku. Bola zakarku mengencang untuk pelepasan, penisku tumbuh lebih gemuk, aku harus melepaskan tali orgasme ini. Pemandangan dari kedua putriku bersama dengan Ayah mereka, perasaan keduanya yang membungkusku, mencintaiku, membuatku berakhir, tak bisa lagi kukendalikan. Perutku mulai mengencang.
“Sayang, Ayah keluar.” aku merasa spermaku bergerak dari dalam tubuhku bersiap untuk meledak dengan tiap tusukannya.

“Keluarlah di dalamku, Ayah. Campurkan dengan milikku.” Aku sudah menunggu terlalu lama. Kontraksi putriku di sekitar batangku meledakkan sperma dari penisku.
“Brengsek,” aku mengumpat dalam hati saat aku tetap memompa anak gadisku, mataku terpejam tak menghiraukan dunia ini.
Sebelum sperma terakhirku habis, aku merasa seseorang memegang lengan tanganku. Itu adalah Endang. Dia berlutut menuju ke pantat adiknya dan menarikku ke luar. Erna berpaling dengan kelelahan yang terlukis pada wajahnya dan tersenyum saat kakaknya berkata..
“Aku ingin mencium suamiku dengan rasa dari dua orang yang paling kucintai di dalam mulutku. Adik dan Ayahku tersayang.”
Lalu aku menutup mataku dan merasakan mulut indah lembutnya, memeras sperma terakhir keluar dari tubuhku.

Bagai Mana Dengan Ceritanya?
Bagus Bukan!
Jangan Malas Untuk Membagikan Cerita Ini Ya!
Dan Jangan Lupa Untuk Membaca Cerita Sex Lainnya Dibawah Ini:

Related Posts:

Kenikmatan Tubuh Mbak Santi Dan Temannya Lina

Streaming

Streaming

Streaming

Streaming

Streaming

Streaming

Cerita Nafsu Birahi - Kisahku berawal kurang lebih 2 tahun yang lalu. Dengan kepandaianku mengelola saat itu aku telah memiliki banyak pelanggan di bengkelku. Kebanyakan dari mereka adalah para karyawan yang bekerja di wilayah perkantoran itu. Salah satunya sebut saja Mbak Santi, usianya 35 tahun. Ia adalah seorang manager di suatu perusahaan. Wajahnya cukup menarik, dengan kulit putih bersih. Tubuhnya sangat seksi, padat, dan berisi.
Yang menjadi pusat perhatianku adalah bentuk payudaranya. Bentuknya besar, tapi terlihat serasi dengan postur tubuhnya. Aku sering membayangkan jika suatu saat dapat merasakan halusnya kulit dadanya dan meremas bahkan mengulum putingnya susunya.

Malam itu saya sedang menunggu Taksi mau pulang, karena mobil yg biasa saya pakai, dipinjam adik. Saya baru saja selesai menutup bengkel. Sekitar 10 menit saya menunggu, datang mobil sedan menghampiriku, lalu kaca mobil itu terbuka, dan kulihat Mbak Santi di dalam mobil mewah itu memanggilku, dia pun bertanya.agen poker
“Mau kemana An..? kok sendirian, mau saya antar nggak?”
Tanpa basa-basi saya lalu memasuki mobil mewah itu, kemudian kita mengobrol di dalam mobil. Singkat kata Mbak Santi mengajakku ke discothique, waktu itu malam minggu.
Sesampainya di diskotik. Kami mencari table yang kosong dan strategis di pojok tapi bisa melihat floor dance.



“Saya sedang pesan lagi satu untuk kita berdua,” kata Mbak Santi.
Untuk “on”, saya memang butuh dorongan inex, tapi cukup setengah, sementara satu setengahnya lagi untuk Mbak Santi. Ternyata takaran satu setengah baru cukup untuk Mbak Santi. Ternyata Mbak Santi suka triping.
Pesanan tak lama datang. Kubayar bill-nya. Ditanganku ada dua butir pil inex, yang satu saya bagi dua. Mbak Santi segera menelan satu setengah, dan sisanya untuk ku. Setelah 15 menit, Mbak Santi terlihat semakin on. Maka kami berjoget, menari-nari, dan berteriak gembira di dalam diskotek yang penuh dengan orang yang sama-sama triping.

Saat saya berdiri dan melihat Mbak Santi “ON” berjoget dengan erotisnya, tak lama kemudian Mbak Santi menghampiri dan merapatkan tubuhnya yang mulus itu ke depanku. Ia mengenakan t-shirt putih dan celana warna gelap. Dalam keremangan dan kilatan lampu diskotek, ia nampak manis dan anggun. Saya kembali menyibukkan diri dengan bergoyang dan memeluknya belakang tubuhnya.
Sesekali tangan ku dengan nakal meremas dada Mbak Santi yang masih tertutup kemeja, Tanganku kian nakal mencoba berkelana dibalik kemejanya dan meremas ke dua gunung kembarnya yang masih terbalut BH. Tanganku akhirnya dapat merasakan halus dari payudara Mbak Santi, jari-jari ku mencari-cari puting payudara Mbak Santi dengan menyusup ke dalam BH Mbak Santi.

Saya remas dada Mbak Santi dengan perasaan, lalu tanganku bergerak ke punggung Mbak Santi berusaha membuka pengait bra itu, aku sudah berhasil melepas pengait BH nya sehingga dengan bebas tangan kananku membelai dan meremas buah dadanya yang keras sementara tangan kiriku masih tetap mendekapnya dan mulutku pun menciumi leher jenjang itu, sambil tanganku memainkan puncak puting susu itu hingga memerah akibat remasan tanganku.
Sementara Mbak Santi hanya memejamkan matanya meresapi setiap jamahan tangan dan terus bergoyang mengikuti irama, saya terus mengelus dadanya sehingga membuat Mbak Santi dari gerakan tubuhnya Mbak Santi memang kelihatan ingin sekali dipuasi, terlihat dari pantatnya yang montok dan masih terbalut rok, terus merapat ke ke belakang. “Kamu sudah on berat ya?” katanya. Saya tersenyum, kupeluk tubuhnya dan kucium pipinya.

Pada pukul 02.00 pagi, DJ mengumumkan discothique akan terus buka sampai pukul 05.00.
Pengunjung bersorak-sorai riang gembira. Tapi Mbak Santi kelihatannya sudah mulai “Droop”.
“Sayang saya sudah lelah,” keluh Mbak Santi.
“Ah, masa lelah, sayang,” ucapku sambil terus memeluk erat dan menciumi leher belakangnya.
“Sayang.. kita pulang yuk..,” katanya. “Saya ingin istirahat”.
“Pulang ke mana?” tanyaku.
“Ke mana aja” jawabnya. Saya baru mengerti, bahwa dia ingin lanjut ke tempat tidur.
“Saya sebenarnya sudah booking kamar di hotel dekat sini” ujarnya.
“Kalau begitu. kita ke sana”
“Tapi tunggu, saya mau bilang temen dulu yang lagi digaet cowok di pojok sana,” katanya.
Tepat pukul 02:30 dini hari kami keluar dari discothique tersebut dengan rasa puas dan senang terus kami menuju ke hotel. Sesampainya kami dikamar Mbak Santi langsung berjoget lagi kali ini tanpa musik tapi dia yang bernyanyi dan sembari melucuti pakaiannya pas seperti orang sedang menari striptis, saya hanya melihat dan duduk disebuah kursi sofa yang ada tepat didepan jendela.

Sambil menari dan melucuti pakaiannya Mbak Santi menghampiri saya dan segera jongkok didepan saya sambil membuka resleting celana saya, saya hanya memperhatikan apa yang akan dilakukannya, “Wowww.. besar dan kencang sekali.. buat Santi ya..”
Kemudian Mbak Santi mengulum penisku yang menegang sejak tadi.
“Ooogghh.. sshh.. enak sekali San..”, ucapku.
Dia mengeluarkan penis saya yang sudah setengah tegang dan langsung diisapnya dalam-dalam. Jago memang Mbak Santi dalam memainkan isapannya, sambil mengisap lidahnya terus menari dan meliuk diteruskan ke buah zakar saya, setelah 10 menit naik dan turun dia isap dan jilatin penis saya, Mbak Santi melemparkan tubuhnya ke atas kasur, dan jatuh telentang. Langsung saya menyergapnya, dan kami bercumbu dengan dorongan nafsu sangat tinggi karena pengaruh inex.

Kami berciuman, beradu lidah dan bergantian mengisapnya. Kuciumi pipinya, matanya, keningnya, dagunya. Kujilati daun telingaya, dan kusodok-sodok lubang telinganya dengan lidahku.
Tanganku tak diam. Mengelus dan meremas rambutnya, menyusuri leher dan belahan dadanya. Kuusuap-usap perutnya, punggungnya, dan bokongnya. Kubekap vaginanya yang ditumbuhi bulu halus nan rimbun. Jari manis dan telunjukku merenggangkan pinggiran vagina Rani. lalu jari tengahku mengorek-ngorek klitorisnya dengan penuh perasaan.
“Ooh.. sshh.. aahh..!” desah Mbak Santi.
“Sayang..,” dengusku sambil terus mencumbunya.

Aku menarik tanganku dari vagina Mbak Santi. Kini kedua tanganku mengelus-elus pinggiran payudaranya.
Berputar sampai akhirnya meremas bagian putingnya. Akhirnya anganku tercapai.
“Oooh.. terus.. say..!” desah Mbak Santi lagi.
Saya jilati pinggiran buah dadanya, lalu menghisap putingnya.
“Oohh.. sayang..!” Mbak Santi merintih nikmat. Mbak Santi bangkit dan mendorong aku supaya telentang. Ia melakukan cumbuan meniru caraku. Ia pun membekuk penisku dan mengelusnya dengan tekanan yang membangkitkan birahi. Mbak Santi memutarkan badan di atas tubuhku yang telentang. Ia menciumi dan menjilati penisku sementara vaginanya disumpalkan ke mulutku.

Akhirnya Mbak Santi menjatuhkan diri ke tempat tidur dan menarik tanganku. Sementara buah dadanya kian kencang. Putingnya kian memerah. Nafasnya tersengal-sengal. Keringat sudah membasahi sekujur tubuhnya. Seperti keringatku. Juga nafasku. Juga si nagaku yang sudah meronta. Dia sepertinya bingung ketika kuambil dua bantal. Dengan lembut kuangkat tubuhnya, lalu bantal itu kuletakkan di bawah pantatnya.
Menyangga tubuh bagian bawahnya. Membuat pahanya yang putih mulus kian menantang. Terlebih ketika bukit venus dengan bulu-bulu halusnya menyembul ke atas. Membuat magmaku terasa mau meledak. Dia mengerang saat lidahku kemudian jemariku mengelus-elus bulu-bulu itu. Dia menjerit saat kucoba menguak kemaluannya dengan jari telun-jukku. Otot pahanya meregang saat kuhisap clitorisnya.

“Masukkan penismu, cepat sayang,” rintihnya.
“Aahh..!” rintihan kenikmatannya kali ini terdengar nyaris seperti jeritan. Aku jongkok di pinggir tempat tidur,
kutarik kaki Mbak Santi sampai bokongnya berada di tepi ranjang. Kusingkap selangkangannya, dan kulumat vaginanya yang sudah becek.
Kubalikkan tubuhnya, kujilati bokongnya sambil sesekali setengah menggigitnya. Kukorek-korek anusnya dengan jari tengahku.
“Ouuwww.. ooh.. sshh.. sayang, cepet masukan!” katanya memelas-melas.
Semakin Mbak Santi memanas birahi, aku semakin terus mempermainkannya dan belum mau melakukan penetrasi. Aku melihat Mbak Santi sampai meneteskan air mata menahan orgasme.
Dipegangnya penisku yang sudah membesar ini. Dia bimbing dan penisku terasa menyentuh bibir kemaluannya. Dia melepaskan pegangannya. Kudorong sedikit. Dia menjerit. Kutahan nafas. Lalu kutekan lagi. Dia memekik. Pada dorongan kesekian kalinya sasaran lepas lagi. Dia terengah-engah. Aku mengambil posisi. Duduk setengah jongkok, kedua kakinya kutarik.
Membuat jepitan atas tubuhku. Kuarahkan penisku ke lubang yang basah dan menganga itu. Ketika kudorong dia meremas rambutku kuat-kuat. Kutekan. Dan kutekan terus. Tak memperdulikan rintihannya. Kedua kakinya meregang ototnya. Dengan penuh keyakinan kutambah tenaga doronganku. Pertama terasa gemeretaknya tulang. Kemudian terasa sesuatu yang plong. Membuat dia menjerit, merintih keras,
“Acchh.. sshh..”
Ketika kupacu dia dengan irama yang lambat dia mengerang, menjerit, merintih terus. Kuubah posisi. Kini kedua tanganku berada di belakang punggungnya. Membuat kaitan diantara ketiaknya. Dia meremas rambutku seiring dengan naik turunnya tubuhku. Kukunya mencengkram punggungku ketika kukayuh pantatku penuh irama. Naik dan turun. Tarik dan dorong. Rintihan dan jeritannya seakan tak kupedulikan. Aku berhenti di tengah jalan. Dia meronta. Membuka matanya. Dengan wajah kuyu. Dari keringat kami yang menyatu. Tanpa diduga, dia mulai mengikuti irama permainanku. Dengan menahan rasa sakit dia menggerakkan pinggulnya. Memutar dan memutar. Sesekali menyentak tubuhku yang di atasnya.

Tak lama kemudian Mbak Santi merubah posisi menduduki pahaku, memegang penisku dan dimasukkannya pelan ke vaginanya.
“Uppss.. ooh..” rasanya nikmat sekali penisku didalam vaginanya. Mbak Santi terus bergoyang naik turun.
“Ahh.. enak..”erangku.
Mbak Santi terus bergoyang sambil menjerit kecil. Dadanya yang naik turun langsung kuremas. Lalu kubalikkan posisinya kebawah.Dan aku gantian memompanya dari atas. Aku terus memompa sampai akhirnya dia mengerang panjang. Otot vaginanya berkontraksi meremas penisku
“Oghh.. saya sudah keluar sayang..” erang Mbak Santi.
Tiba-tiba, pintu kamar ada yang mengetuk.
“San.. San!” suara perempuan.
Aku kaget dan sempat terhenti mencumbu Mbak Santi.
“Teruskan, sayang..! Itu temanku, biarkan saja,” kata Mbak Santi.
“San..!” pintu diketuk lagi diikuti suara panggilan.

“Masuk aja, Lin, enggak dikunci, kok” ujar Mbak Santi.
“Huuss..!! Kita lagi nanggung dan bugil begini masa temenmu disuruh masuk..?” sergahku.
“Engga apa-apa, cuek aja..” kata Mbak Santi enteng sambil tersenyum manis.
“Wah, rupanya lagi pada asyik nih,” kata Lina begitu membukakan pintu dan masuk ke dalam kamar.
Aku masih dalam posisi jongkok dan penisku masih di dalam vagina Mbak Santi, dan hanya menyeringai melihat kedatangan Lina.
“Mana cowokmu tadi?” tanya Mbak Santi.

“Tahu kamu pulang ke hotel bawa cowok, yah aku dibawa ke hotel lain” sahut Lina.
Aku masih bengong mendengar percakapan dua cewek cantik itu. Tiba-tiba tangan Mbak Santi menarik tanganku yang tersampir di pahanya.
“Ayo sayang goyangin penismu, jangan kalah sama Lina” desak Mbak Santi.
Aku berdiri dan mengangkat tubuh Mbak Santi ke tengah tempat tidur. Penisku yang sudah tegang dari tadi, segera saya tembakkan lagi ke dalam lubang vagina Mbak Santi yang sudah tidak perawan tapi masih terasa lengket. Kami sama-sama merasakan kehangatan yang nikmat.

“Yang dalam.. cepat.. ah.., enak..” pinta Mbak Santi. Aku pompakan penisku dengan penuh gairah.
Sementara Lina pergi ke kamar mandi dan mengurung diri disana. Mungkin berendam di bathtub. Pengaruh inex membuat daya tahan persenggamaanku dengan Mbak Santi cukup lama. Berbagai gaya kami lakukan. Mbak Santi beberapa kali mengerang dan menggigit pundakku saat mencapai orgasme. Sementara penisku masih anteng dan melesak-lesak ke dalam vagina Mbak Santi.
“Aduh.. capek, sayang..!” rintih Mbak Santi.
“Istirahat dulu.. yah..?”
“Sabar, dong, say. Aku sangat menikmati hangatnya vaginamu,” rayuku.

Mbak Santi lantas menggelepar pasrah, tidak kuasa lagi menggerak-gerakkan tubuhnya yang lagi kugarap. Matanya terpejam. Aku semakin terangsang melihatnya tak berdaya. Kami sudah bermandikan keringat. Tapi penisku masih tegang, belum mau memuntahkan sperma. Akhirnya aku kasihan juga sama Mbak Santi yang sudah keletihan dan nampak tertidur meski aku masih menggagahinya.
Aku mendengar bunyi keciprak-kecipruk di kamar mandi. Spontan aku bangkit dan melepas penisku dari vagina Mbak Santi. Dengan langkah pelan supaya tidak membangunkan Mbak Santi dari tidurnya, aku berjalan dan perlahan membuka pintu kamar mandi. Benar saja Lina sedang berendam di bathtup dengan tubuh bugil. Ia nampak sedang menikmati kehangatan air yang merendamnya. Kepalanya bersender pada ujung bathtub. Aku menghampirinya dengan penis yang masih tegang.
Mata lina terbuka dan kaget melihatku berdiri di sisi bathtup, menghadap ke arahnya.
“Mana Santi?” tanyanya setengah berbisik sambil matanya turun naik melihat ke arah muka dan penisku yang ngaceng.

“Dia tidur.. jangan berisik,” kataku sambil naik ke dalam bathtup dan langsung menindih tubuh Lina yang sintal dan pasrah. Kami bergumul dalam cumbuan yang hot.
“Lin kamu diatas yah.. ” Sekarang posisiku ada di bawah, dia segera naik keatas perutku dan dengan segera di pegangnya penisku sambil diarahkan kevaginanya, kulihat vaginanya indah sekali, dengan bulu-bulu pendek yang menbuat rasa gatal dan enak waktu bergesekan dengan vaginanya. “Aaawww.. enak banget vagina kamu Lin..”
“Enak kan mana sama punya Santi..?”
Katanya sambil memutar pantatnya yang bahenol. Rasanya penisku mau patah ketika diputar didalam vaginanya dengan berputar makin lama makin cepat.
“Ah.. Lin.. enak banget ah..” Aku pun bangun sambil mulutku mencari pentil susunya, segera kukemut dan kuhisap.
“Ton.. saya mau keluar..”
“Rasanya mentok.. ah..”
Memang dengan posisi ini terasa sekali ujung batangku menyentuh peranakannya.
“Ah.. ah.. eh..” suaranya setiap kali aku menyodok vaginanya.
Kugenjot vaginanya dengan cepat. Dia seperti kesurupan setiap dia naik turun diatas batangku yang dijepit erat vaginanya,
“Lin mau keluar..”
Kupeluk erat dia sambil melumat putingnya. Kupompa vaginanya sampai kami tak sadar mengeluarkan desahaan dan rintihan birahi yang sampai membangunkan Mbak Santi. Mbak Santi tiba-tiba berdiri di pintu kamar mandi dengan tubuh bugil dan matanya menatap aku dan Lina yang lagi bersetubuh.

“Gitu yah, enggak puas dengan aku kamu dengan Lina,” hardik Mbak Santi dengan nada manja, pura-pura marah.
Eh, malah Mbak Santi kini ikut naik ke dalam bathtup.
“San, ayo gantian, aku sudah dua kali dibikin keluar, sampai lemes rasanya. Cowokmu ini terlalu perkasa,” kata Lina.
“Ayo sayang, sekarang aku akan membuat penismu muntah,” kata Mbak Santi.
Segera Mbak Santi hampiri saya di dalam bath yang penuh dengan air, ditonton Lina yang duduk di ujung bathtup sambil membasuh vaginanya, dan pahanya menjadi sandaran kepala Mbak Santi. Kusuruh dia nungging, maka terlihatlah lubang vaginanya yang basah dan berwarna merah, kuarahkan kepala penisku ke lubang tempiknya secara perlahan-lahan. Kutekan penisku lebih dalam lagi, dia menggoyangkan pantatnya sambil menahan sakit. Terdengar suara kecroot, kecroot bila kutarik dan kumasukan penisku di lubang vaginanya, karena suara air kali ya.
Mbak Santi semakin histeris, sambil memegang pinggiran Bath Tub dia goyangkan pinggulnya semakin cepat dan suara kecrat, kecroot semakin keras. Tak lama kemudian.
“Aduh say aku nggak tahan lagi ingin keluar..”.
“Aduh sayang.. terus..”
Mbak Santi terkulai lemas dan vaginanya kurasakan semakin licin, sehingga pahaku basah oleh cairan vaginanya yang keluar sangat banyak. Sebenarnya aku juga sudah nggak tahan ingin keluar, apalagi mendengar desahan-desahan yang erotis pada saat Mbak Santi akan orgasme.

“Aduh, sayang, aku kalah lagi nih, sudah mau orgasme!”
Cairan hangat terasa masih mengalir dari dalam vagina Mbak Santi. Aku masih terus menggenjot vaginanya. Wajah Mbak Santi terlihat pucat karena sudah keseringan orgasme. Melihat wajah cantik yang melemah itu, genjotanku dipercepat.
“Sayang, saya mau keluar nich..”
“Keluarkan di dalam aja sayang, kita keluarin bersamaan, Santi juga mau keluar.”
Dan Akhirnya spermaku mendesir ke batang jakar dan aku mencapai orgasme yang diikuti pula dengan orgasme Mbak Santi. Air maniku keluar dengan derasnya ke dalam vagina Mbak Santi dan Mbak Santi pun menikmatinya.

“Akhirnya saya berhasil membuatmu mencapai puncak kenikmatan sayang,” kata Mbak Santi sambil memeluk dan menciumi bibirku. Terasa nikmat, licin, geli bercampur jadi satu menjadi sensasi yang membuatku ketagihan. Kami bertahan pada posisi itu sampai kami sama-sama melepaskan air mani kami.
“Lin.. emut penisku sayang” kataku lalu mencabut penisku dari vaginanya Mbak Santi. Lalu Lina melumat 1/2 penisku hingga pejuhku habis keluar.
“Mhh.. ah.. enak sekali pejuhmu” katanya sambil mengocok ngocok penisku mencari sisa air pejuhku.
“Tapi sebentar lagi nagaku akan bangun lagi lho. Lihat, sudah mulai menggeliat!” kataku, menggoda.
“Hhhaah..?” Mbak Santi dan Lina terkesiap bersamaan kompak.

Kemudian aku segera keluar dari bathtup mendekati Lina dan menyuruhnya membelakangiku. Dari belakang saya mengarahkan penisku ke vaginanya yang sudah basah lagi karena nafsu melihat saya dan Mbak Santi.
Sleepp.. bless..
Aku langsung memasukkan penisku terburu buru, karena sempit waktu membuat kesakitan Lina.
“Aduuh pelan pelan dong Say.., Lina sakit nih” katanya agak merintih.
“Sorry Sayang aku terlalu nafsu nih” kataku lalu tanganku menyambar susunya yang menggelantung indah. Lalu aku mulai memaju-mundurkan pantatku sambil tanganku berpegangan pada susunya dan meremasnya.

“Shh.. ahh.. shh..” kata Lina setengah merintih kenikmatan.
“Lin.. vaginamu sempit.. nikmat Lin..” teriakku mengiringi kenikmatanku pada kemaluan kami. Sleep.. bles.. cplok.. cplok.. irama persetubuhan kami sungguh indah hingga aku ketagihan.
Kami melakukan posisi nungging itu lama sekali hingga kami sama-sama sampai hampir bersamaan.
“Shh.. ahh.. say, Lina sampai nih” katanya sambil kepalanya mendongak kebelakang.
“Iya Lina sayang, saya juga sampai nih, didalam yah say..” kataku lalu menghunjamkan penisku dalam dalam divagina Lina.

Seerr.. croot..croot kami keluar hampir bersamaan lalu aku mencabut penisku dari vagina Lina.
penisku terlihat basah dari air mani kami dan air kenikmatan Lina.
“Ugh.. say enak banget..” katanya.
Lalu kami duduk beristirahat ditepian sisi kamar mandi sambil menunggu sisa kenikmatan yang tadi kami lalui.

Bagai Mana Dengan Ceritanya?
Bagus Bukan!
Jangan Malas Untuk Membagikan Cerita Sex Ini Ya, Dan Baca Juga Cerita Sex Lainnya Di Bawah Ini:

Related Posts:

Birahi Kakak Ibu Tiri Yang Sangat Binal

Streaming

Streaming

Streaming

Streaming

Streaming

Streaming

Cerita Nafsu Birahi - Cerita kekejaman ibu tiri sudah banyak beredar sejak dulu kala, sehingga sampai diangkat dilayar lebar dan menjadi tema lagu dengan label Ratapan Anak Tiri misalnya, dan berita-berita yang memilukan, baik perihal ibu maupun anak tiri ini. Hal itu sempat membuat hatiku galau ketika ayahku (49) menikah lagi (karena ibu kandungku meninggal), dengan seorang perempuan (35) sempat meresahkan hatiku. Aku berstatus sebagai anak tiri dan siap menanggung deritanya.



Untuk menghindari hal-hal yang tidak saya (namaku Rendy, 22) inginkan, justru saya berusaha berbuat baik dengan mama tiriku itu. Saya ingin mengubah opini publik bahwa ibu tiri itu kejam, hanya sayang pada ayah dan seterusnya. Image ini ingin saya ubah; menjadi ibu tiri yang mengasihi, lembut terhadap anak tiri. Lalu saya bertekad berbuat baik dan menghormati ibu tiri bahkan tidak sekedar menghormati tetapi membuat hatinya senang, minimal saya tidak menyebalkan di hadapan matanya. Langkah yang aku lakukan adalah selalu membantu pekerjaan rumah tangga, apalagi bila pembantu sedang pulang kampung.
Sayapun bersikap baik, terhadap Remy (11) anak kandung ibu tiriku, bahkan saya anggap sebagai adik kandungku sendiri. Demikian juga aku selalu bersedia apabila disuruh belanja atau apa saja yang sekiranya dapat aku lakukan. Usaha mengubah citra ibu tiri yang sudah saya rintis ini untuk mematahkan bisa anggapan bahwa ibu tiri itu jahat. Namun yang namanya pendapat umum, mitos tentang kengerian ibu tiri ini ternyata tidak gampang dihapuskan begitu saja di muka bumi ini, bagai sebuah penyakit yang menahun, kronis dan berstadium tinggi.

Sikap ibu tiriku tetap tidak baik dan merendahkan anak tiri. Mama tiriku jarang mengajakku, dia baru mau bicara bila sedang perintah saya, atau bila saya dianggap melakukan kesalahan. Misalnya bila Remy terlambat berangkat sekolah, saya yang ditegur, padahal anaknya sendiri yang molor. Hal ini dilakukan tidak segan-segannya, walau saat ada orang lain atau tamu. Ayahku hanya diam saja, akupun paham betul posisi ayahku. Aku tetap menganggap ayah sebagai orang tua yang bijaksana dan sangat mengasihi saya.
Sebenarnya dalam hati aku juga bahagia, ayah mendapatkan istri cantik, masih muda. Ayah seorang yang berselera tinggi, sudah berumur memang, tapi kelihatan tetap tampan dan gagah, apalagi sebagai seorang pejabat di instansinya. Klop sudah. Wanita mana yang tidak tergiur dengan kelebihan ayahku? Aku tidak menyombong, memang kenyataannya begitu. Angan-anganku semula, yang penting dengan kehadiran ibu tiri ini ayah menjadi semakin bahagia.
Namanya usaha apapun hasilnya tentu memiliki nilai tersendiri, ibu tiriku yang kemudian aku sapa dengan suka-rela pakai sebutan ‘mama’, ini akhirnya agak membaik, walapun tidak secara frontal, lambat-laun. Tapi kadang-kadang masih mengatakan kata-kata yang menyakitkan, walaupun mestinya tidak pantas dilontarkan kepada saya sebagai orang yang sudah beranjak dewasa. Harapanku keluarga yang dibina oleh ayah, tetap berjalan dengan damai dan cukup kondusif. Setiap pagi hari ayah dan mama berangkat kerja, bersama Remy. Sesekali Remy saya antar, bila bangunnya agak molor.
Hari itu keluarga kami ketamuan bu Heidy (tentu bukan nama sebenarnya), saudara kembar mama tiriku. Istri papa itu bila menyapanya dengan sebutan mBak Heidy. Artinya bu Heidy ini yang dianggap lebih tua dari mama tiriku, walau hanya terpaut satu-dua jam saja mungkin. Bu Heidy ini rumahnya di kota S, kira-kira 100 km dari kota kami. Sering bertandang ke rumah bila kebetulan ada tugas dinas di kota ini atau sekedar mengunjungi saudara kembarnya. Hari itu rencananya perempuan yang wajahnya sangat mirip dengan mama tiri saya itu akan menginap di rumah selama dua minggu, katanya -aku dengar dari pembicaraan mereka-, akan mengikuti sebuah diklat yang diadakan oleh instansinya di kota ini.

Kebetulan tempat diklatnya, gedungnya tidak jauh dari rumah keluarga kami, kira-kira cuma 500 m saja, sehingga dia tidak perlu menginap di hotel yang disediakan oleh diklat. Relatif dekat. Ini kali yang kedua bu Heidy mengikuti acara instansinya di sini. Waktu itu, juga ada raker, kalau tidak salah enam bulan yang lalu. Saya masih ingat, selesai raker, saya yang disuruh mama mengantar mereka, saat dua kembar itu belanja dan keliling keliling kota, karena ayah ada kegiatan di kantor. Seperti biasanya bila berkunjung, sering keliling kota shopping.
Jadi saya cukup mengenalnya. Dua kembar ini perangainya agak beda. Kalau yang dianggap muda itu agak sombong, terutama terhadap saya, sedangkan yang dianggap tua, bu Heidy cukup ramah. Saya sering diajak ngomong dan selalu menyapa dengan senyuman. Seperti pada umumnya orang-orang bila saling ketemu, tapi tidak demikian halnya mama tiriku, paling tidak bila dengan saya.

“Ren, tolong antar Bude Heidy ke diklatnya besok, di situ ya” kata ayah saya hari itu.
“Ya Ayah, baik. Besok saya antar ibu” jawabku.
“Perhatikan ya jamnya, jangan sampai terlambat” mama menimpali.
“Ya Ma, baik”
Pagi itu Senin, bu Heidy siap berangkat, ayah ibu dan Remy sudah berangkat lebih pagi, seperti biasa, kemudian setengah delapan saya mengantar bu Heidy dengan memboncengkannya pakai sepeda motor. Perempuan ini cantik, kulitnya putih bersih, sama dengan mama tiriku, saudara kembarnya. Bedanya, bu Heidy ini ada tahi lalat di pipinya yang menambah kecantikannya. Pagi itu dia memakai setelan bleser-celana warna abu-abu tua dan kerudung biru motif bunga. Cantik, tingginya kira-kira 165 cm, cukup tinggi menurut ukuran perempuan negeri ini. Sesampainya di gedung tempat diklat dia turun dan aku menawarkan diri untuk menjemputnya.

“Bila nanti sudah selesai, Ibu bisa telepon atau sms saya, nanti saya jemput” kata saya.
“Boleh Ren, terima kasih. Tapi jangan sampai mengganggu kuliahmu, lho” katanya sambil senyum.
“Enggak Bu, saya bisa kok” kataku.
Akhirnya dia setuju dan minta nomor hpku dan akupun meminta nomor hpnya. Terjadilah acara tukar menukar nomor hp. Kegiatan antar jemput itu berjalan setiap hari, sebagai kegiatan tambahan, tapi aku tidak menghitung untung rugi. Toh dia adalah kembarannya mama, sama dengan budeku, walau dibelakangnya ada tambahan bude tiri. Aku tidak mempermasalahkan.
Sampai di hari Jumat, dia pulang jam tiga, agak siang dari hari-hari biasa, tiba-tiba dia berkata:
“Bila terus ke sana, sampai mana Ren?” kata bu Heidy sambil menunjuk jalan arah depan.
“Ada perkebunan teh, pemandangan pegunungan indah Bu” kataku
“Kita ke sana, yuk” katanya spontan.
“Baik” kataku lalu menancap gas menuju ke arah lurus, yang mestinya belok kiri menuju rumah.

Sekitar lima km, kami sudah sampai, saya berhenti sambil melihat pemandangan di sekitar kebun dan gunung yang indah. Perempuan ini cukup senang, mungkin karena daerahnya ngarai. Pada latar belakang pemandangan terlihat gunung menjulang tinggi, aku berkata;
“Saya pernah naik ke sana Bu..” kataku tanpa ditanya.
“Kamu juga suka naik gunung Ren? Pantesan tubuhmu kekar… harus latihan fisik terus ya..?” katanya saya jawab dengan mengangguk.
Kami keliling dengan sepeda motor, sesekali berhenti membuat foto panorama dirinya dengan hpnya. Kemudian dia mengajak saya di sebuah café dan minum di sana. Dari tampat parkir, kami berjalan berdua, jalannya agak menanjak, tangannya menggapit tangan kiriku, sampai tubuhnya kadang mepet dengan lenganku. Saat itu rasanya ada suatu aliran listrik arus rendah mengalir di dalam aliran darahku, mulai dari tangan menjalar ke dadaku dan jantungku bergetar, bahkan menjalar pula ke arah tititku menjadi agak membesar, walau tidak tegang.

“Kamu sudah punya pacar Ren?”
“Belum Bu”
“Masa? Umurmu berapa sekarang?” tanyanya kemudian
“Dua puluh dua”
“Apa nggak ada yang tertarik sama kamu? Kamu kan ganteng…” katanya sambil memegang tanganku.
“Ibu ada-ada aja”
“Kamu nggak malu, berjalan bersama saya, yang sudah tua ini?”
“Ngapain harus malu Bu? Justru saya bangga bersama orang secantik Ibu”
“Ah kamu Ren. Terima kasih ya, atas pujiannya. ” katanya lalu kami tersenyum bersama.
Jam setengah lima sore kami baru pulang, selama di café kami ngobrol ngalor-ngidul, banyak hal yang ditanyakan mengenai diri saya, walaupun saya juga bertanya perihal suaminya, anaknya dan seterusnya. Bener-bener cantik perempuan ini, gumanku. Tidak seperti biasanya dalam perjalanan pulang dari rekreasi tersebut ada perubahan yang mendasar, tangan bu Heidy memegang erat, melingkar pada tubuhku, walaupun saya berjalan mengendarai bromfit tidak kencang.
Bahkan badannya yang semula merenggang dengan punggungku, sekarang mepet sekali, sehingga dadanya yang pasti gunung kembarnya nempel ketat kayak perangko dipunggungku. Kedua tangannnya dilingkarkan pada perutku, baru dilepas saat hampir sampai rumah. Inilah penyebab aliran-aliran dalam darahku berjalan ke seluruh penjuru tubuhku yang aku rasakan. Saya ingin perjalanan ini tidak segera sampai rumah, tapi apa dikata dalam waktu singkat sampai rumah. Akhirnya cuma menunggu moment yang indah ini sampai hari berikutnya. Kalau begini jadinya, menjadi pengojek antar jemput sepanjang tahunpun saya sanggup. Pikirku.

Sesampai di rumah, Remy sudah siap berangkat les, lalu saya antar ke tempat les.
“Nanti saya pulang sama mama Kak, mau beli buku. Nggak usah dijemput” kata Remy setelah sampai di tempat les.
“Ya” kataku
Kembali saya ke rumah, kudapat bu Heidy sudah selesai mandi. Sore itu dia memakai rok terusan warna putih motif bunga. Serasi sekali. Apapun yang dipakai tampak pantas dan serasi, dasar orang cantik.
“Kamu mandi dulu Ren”
“Ya Bu” sahutku sambil menuju kamar mandi.
Aku pikir bu Heidy ini lebih gampang akrab dengan saya, dan sangat memperhatikan saya. Saya merasakan perhatiannya seperti seorang ibu, ini ada kasih sayang dari seorang ibu. Walaupun pembawaannya agak pendiam, rupanya perempuan cantik ini ramah dan menyenangkan. Sayapun senang bisa berakrab-akrab ria dengan dia. Selesai mandi aku menghampirinya duduk di sofa ruang tengah, sudah ada teh dua cangkir.

“Ini teh Ren, kita minum-minum dulu”
“Wah, Ibu repot-repot. Mestinya saya yang bikin tadi” kataku basa-basi.
“Nggak apa-apa kamu sudah capek. Kuliah, lalu jemput saya, mengantar Remy”
“Ya Bu, terima kasih”
Sore itu di rumah hanya kami berdua, saya dan si cantik bu Heidy, kemarin Parmi (PRT) minta pulang kampung, karena dikabari ayahnya sakit di desa. Seperti air, maka pekerjaan rumah mengalir, kami kerjakan bersama. Dan ini sudah menjadi kebiasaan kami di kala PRT pulang.
Saya dan bu Heidy duduk bersama, sambil menikmati teh dan makanan kecil. Saya sudah tidak kikuk, atas keterbukaan bu Heidy ini, saya sengaja duduk di sofa panjang bersebelahan dengan perempuan berkacamata ini. Dia menaruh tangannya di pangkuanku dan sayapun tidak segan memegang tangannya. Rabaan demi rabaan sempat menggetarkan dadaku, walaupun tidak sampai bergoncang. Sesekali aku mencium tangannya, yang sebenarnya saya ingin sekali mencium bibirnya atau paling tidak pipinya yang ranum itu, tapi tidak aku lakukan. Sebagai pelampiasannya hanya menciumi tangannya, sesekali. Dan dia mengelus rambutku dengan lembut. Saya benar-benar merasakan belaian kasih sayang dari seorang ibu.

Di sisi lain, sebagai lelaki yang beranjak dewasa, dadakupun bergetar menghadapi perempuan dewasa ini. Bahkan saya anggap sebagai perempuan matang dan mantap. Dari segi umur sudah mantap dan kedudukan sebagai pegawai sudah berpengalaman. Hal ini dapat saya rasakan dari cara bicaranya yang berkualitas, seperti dosen ketika sedang memberi kuliah di depan kelas. Gambaran sebagai sosok yang intelek dan berwawasan luas.
Dia mendekatkan diri padaku, getaran-getaran dada terakumulasi mendorong pada sebuah tindakan, dengan tanganku mulai berani meraba-raba pahanya, walaupun masih di atas roknya. Ternyata dia diam dan membiarkan gerak tanganku yang sudah seperti ular mendesis-desis mencari mangsa, merayap kesana kemari. Rupanya diapun mengikuti alur anganku dan perasaanku yang terlahir melalui belaian tangan, bertemunya jari-jemari dan pandangan mata, serta gerakan bibir yang merekah.
Tangannyapun juga membelai pahaku, yang sore itu pakai celana pendek. Ini dilakukan oleh dua insan lain jenis yang merangkak pada gejolak nafsu masing-masing. Saya ingin sekali merasakan dan mengalami peristiwa birahi ini walau setapak demi setapak. Rupanya bu Heidy yang saya ajak menyisir lorong-lorong indah nan menyenangkan ini mengikuti alur sedemikian rupa, sehingga tidak ada yang mengetahui siapa yang lebih dulu memulainya.

“Ren aku suka kamu. Kamu baik sekali, dan ganteng lagi…” kata bu Heidy agak tertahan.
“Kok Ibu tahu saya baik, Baik apanya? Saya sendiri merasakan biasa-biasa saja” sanggahku.
“Enggak Ren, walau saudara kembarku bersikap begitu terhadap kamu. Tapi kamu tetap menghormatinya sebagai ibumu, bukan karena takut. Dan saya juga terima kasih, dengan sayapun kamu baik” katanya sambil membelai keningku, seperti membelai anaknya.
“Terima kasih Bu, saya juga suka ibu. Ibu cantik sekali dan sangat perhatian padaku. Ibu sebagai obat penglipur lara, dikala hatiku gundah gulana” kataku kayak orang berpantun.
Aliran yang semula kecil kemudian membesar itulah yang mendorong dengan kuat dan menghentak, mengantar pada keberanianku untuk mencium pipi, kemudian bibir indah bu Heidy. Tanpa hambatan apapun, justru bu Heidy menyambut dengan ciuman antusias dan mesra. Kami saling mencium, lidah dan bibir kami saling bertautan, saling melumat, saling mencari kenikmatan dalam peraduan antara bibirku dan bibir bu Heidy, dengan masing-masing melepas hasrat yang terakumulasi, kini dia lebih agresif menciumi aku.
Sementara tangan kiriku bertautan dengan tangan kanannya, tangan kananku menyusup di balik gaunnya meraba dan membelai paha mulusnya. Mulus bagai batu pualam putih bersih. Sedangkan tangan kanannya juga menyusup di balik kaosku, membelai-belai lembut dadaku. Tanganku merayap terus ke atas, sekarang sudah sampai ke bagian perutnya berhenti sejenak di sana, kemudian meluncur ke atas menuju susunya. Gemetaran ketika tanganku menyelinap di balik behanya dan kemudian meremas susunya dengan lembut. Setelah melepas ciuman bibir katanya
“Kita ke kamar aja yuk, Ren”
Tanpa mengulang kata-kata itu, kedua insan lain jenis ini beranjak bergandengan masuk menuju kamar. Di kamar bu Heidy membuka kaosku dan walaupun dengan gemetaran, akupun serta merta membuka gaunnya. Kini tampak dengan jelas beha dan cede yang dipakai, berwarna putih cemerlang, membalut bagian tubuhnya nampak indah sekali. Mulai dari kulitnya yang putih bersih, wajahnya yang cantik, bahunya yang indah, susunya yang montok pinggulnya yang bulat indah serta kakinya yang indah menggiurkan.

Sepasang pahanya putih mulus menggairahkan. Kegiatan ini fokus pada ciuman bibir dan belaian lembut, sementara bergerilya keseluruh permukaan kulit yang lembut itu, tanganku membuka behanya dari kait pada punggungnya, lama tidak lepas a lot, lalu dia membantu membukakan. Nampak sepasang payudara yang montok indah sekali. Tanpa menunggu lama sayapun membuka cedenya, yang dibalas dengan cedekupun dibukanya. Terlebih pada pangkal sepasang pahanya itu bagian depan di bawah perut, terbentuk seperti huruf ‘V’ yang ditumbuhi rambut tipis sangat mempesona.

Dengan pemandangan yang sangat menakjubkan itulah getaran-getaran yang sejak tadi mengalir kini bergejolak deras dan menggoncang-goncang dadaku. Aku memeluk kembaran ibu tiriku itu. Aku benar-benar gemetaran, namun kegiatan tetap berlangsung, lidah kami beradu sambil menari-nari. Kini bu Heidy dan saya sudah sama-sama polos, tanpa busana, kami saling berangkulan berciuman. Menakjubkan sekali, saya yang baru beranjak dewasa ini sangat merasakan kenikmatan yang tiada tara.

“Wah tititmu besar sekali” bisiknya
Tititku yang ngaceng maksimal diurut-urut lembut kemudian dijepit di antara paha mulusnya sambil digesek-gesek. Dampak ini luar biasa, dadaku semakin gemuruh, sepertinya darahku sedang mendidih mengaliri seluruh tubuhku. Sambil meremas payudaranya, agak menunduk aku menikmati kedua payudaranya yang menggairahkan. Saya remas mulai dari bawah ke atas dan mempermainkan puntingnya. Kemudian dia naik ke ranjang, merebahkan diri di ranjang dan mengarahkan lagi payudaranya ke arah mulutku, katanya.
“Dinenen Ren..”
Dengan sigap aku mengusap-usapkan wajahku ke susunya yang montok itu dan kemudian nenen. Puntingnya berwarna merah jambu, seperti oase di padang pasir yang sangat menggairahkan. Pertama dengan lidahku memainkan putingnya kemudian ngedot, persis seperti balita yang nenen ibunya. Sementara itu kedua tangannya merangkul bahuku dengan membelai-belai punggungku. Tangankupun sibuk dengan kedua benda ajaib ini. Enak dan menyenangkan. Sementara tititku menelusuri celah pahanya, sesekali tangannya dengan lembut membelai-belai titit yang sudah keras luar biasa itu.

Kami berdua bergumul, saling menindih dan pada kaki-kaki kami saling melilit. Saya menindih perempuan molek itu dan menggumuli dengan ciuman-ciuman lembut. Acara ini rupanya berpusat pada ciuman bibir dan saling belaian tangan yang sangat mendorong rasa gairah yang luar biasa. Tanpa sengaja tanganku menyentuh pada bagian selakangannya, kelihatannya basah dan aku mencoba menyentuh bibir-bibirnya kiri kanan dan pada bagian atasnya. Gerakan tanpa sadar ini ternyata mengakibatkan erangan bu Heidy lewat mulut indahnya itu. Lalu gerakan aku ulang kembali yang membuat dia mengerang kembali. Tanganku erat memegang bahunya, mulutku masih merasakan hangatnya bibirnya, kemudian lidahku menjulur-julur merangkak menikmati susunya kembali.

“Mulai yuk, masukkan”
“Ya Bu, terima kasih. Tapi diajari Bu, saya tidak tahu caranya” kataku
“He-eh..” katanya sambil memegang tititku.
Lalu aku menindih bu Heidy yang bertumpu pada kedua siku-sikuku, kedua telapak tanganku memegang bahunya dari bagian belakang, kemudian pinggangku beringsut, untuk mengambil posisi tepat tititku pada selakangannya. Lalu secara naluri aku tekan masuk lalu pinggulku menggoyangnya.
“Belum masuk, itu baru terjepit paha” bisiknya
“Maaf Bu. Lalu gimana nih…”
Titit yang sudah maksimal kencang seperti peluru kendali itu dipegang bu Heidy, kemudian diarahkan dan dipasangkan pada tempiknya (Mrs Vnya) di antara kedua pahanya yang dibuka, sehingga selakangannya merekah.

“Sekarang tekan tapi pelan-pelan aja” bisiknya
Aku lakukan sesuai dengan instruksi, saya tekan masuk dengan pelan tapi pasti. Pasti masuk ke lobang kewanitaan perempuan karier itu diiringi dengan desahkan lembut. Ternyata mudah. Nikmatnya luar biasa! Senjataku masuk pada Vnya bu Heidy terasa sempit. Makanya saat perjalanan masuk itu, mata bu Heidy terjaga memandangiku serius, merasakan nikmat juga. Pada saat masuk itulah rasa perasaan dan dentuman dada seolah serentak menyatu dalam kenikmatan yang tiada tara, baru merasakan hal yang benar-benar baru dan nikmat seumur hidupku. Secara naluri saya menggerakkan pinggulku, maju mundur.
Pada setiap gerakan pinggulku selalu disambut dengan gerakan pinggul bu Heidy yang naik-turun, keluar masuk, kadang memutar, sesuai dengan ritme gerakanku. Gerakannya selalu berlawanan dengan gerakanku, bila aku memutar ke kanan dia menggerakkan berlawanan. Bila saya sodok masuk, pinggulnya ditekan ke atas. Kedua kakinya dililitkan pada kedua kakiku, maka menyatukah kami mulai dari mulutku dengan bibirnya, kedua jemariku dan alat seks kami tentu saja yang menjadi poros dan pusat kegiatan. Gerakannya monoton dan sederhana, tapi ternyata membawa nikmat luar biasa. Dadaku kembali bergemuruh seperti akan datang badai dahsyat, namun nyaris tak terdengar suara berisik kecuali desah mendesah di kamar berukuran empat kali lima meter tersebut.

Nafas bu Heidy terengah-engah seperti atlet yang sedang lari 100 meter saja. Dia minta berguling, alih posisi, dia di atas aku di bawah. Saat di atas itu dia gerakannya lembut tapi mempesona, meliuk-liuk, kadang duduk dan memutar pinggulnya, dan susunya bergoncang-goncang indah. Tanganku memegang erat kedua pantatnya dan sesekali meremas susunya dengan gemasnya. Kadang dia telungkup menindih saya, sambil menyatukan bibir mulut kami. Gerakannya makin kencang sampai menggoncang-goncang tubuhku dan tempat tidurnyapun ikut bergetar, lalu diiringi dengan desahan kuat.
“Ah…..uh….eh… aku sampai Ren….” katanya sambil menggong-goncang tubuhku.

Wajah bu Heidy merona merah jambu saat orgasme. Setelah erangan itu, gerakannya keras sekali, lalu merambat, lambat laun melemah sesekali dihentakkan, naik turun akhirnya berhenti. Saat berhenti dia terkulai menindihku sesekali menggerakkan pinggulnya dan mencium ku.
Setelah beberapa menit kemudian dia beranjak kemudian berbaring di sampingku, sambil mendesah puas.
“Sekarang lanjutkan Ren, kayak tadi” katanya
Dia terlentang dengan membuka lebar pahanya dengan lutut sedikit menyiku, sehingga tampak Mrs Vnya merekah yang tadi warna pink sekarang memerah dan yang basah kuyup, menggairahkan. Kembali aku menindih tubuh molek itu, dan mulutku kembali mengulum-kulum pentilnya. Tititku kembali masuk pada sasarannya, kini saya sendiri yang menancapkan pada Vnya Bu Heidy, tanpa bantuan si empunya barang nikmat tersebut. Aku sudah sedikit tahu caranya. Kembali aku menggerak-gerakkan pinggulku seperti orang memompa, naik turun dan memutar. Tumpuan yang sangat nikmat ini terasa licin dan basah yang menjadikan gerakan dan kegiatan ini masih lancar dan nikmat.

Kedua tanganku menyiku dan kedua tanganku memegang erat kedua bahunya dari bawah. Tubuh putih mulus ini mulai bergerak-gerak di bawah himpitanku, terutama pada pinggulnya berputar-putar dengan indahnya. Dia mengimbangi dengan gerakan bergoyang pada pinggulnya, sehingga membawa efek nikmat pada tititku dari kuluman lembut Vnya. Nikmat sekali. Tetapi gerakan masih seperti tadi, keluar masuk sedangkan bibirku tetap asyik pada bibir indah bu Heidy dan pada susunya yang montok itu. Permainan ini menyenangkan sekali yang sekaligus membawa nikmat.
Dari tubuh yang membara itu, tiba-tiba terasa aliran darahku dalam tubuh terasa deras, menekan dan mendorong kuat pada gairah yang semakin meningkat. Demikian halnya dengan dadaku berdetak dan bergetar kencang, seperti hempasan angin puting beliung. Sementara tititku yang super ngaceng itu terus melakukan kegiatan menggarap V milik bu Heidy yang nikmat luar biasa itu. Akhirnya dorongan yang begitu dahsyat itu, menghentak kuat ditandai dengan keluarnya pancaran spermaku masuk dalam lobang milik Bu Heidy yang diiringi dengan kenikmatan luar biasa. Inilah pengalaman yang mungkin tidak bisa terlupakan.

“Ah.. uh……” desahku diikuti desah bu Heidy sahut-sahutan. Rupanya dia orgasme lagi, wajah ayunya merona merah jambu kembali, mengasyikan. Nikmat abiz!
Nafasku berkejar-kejaran bersama bu Heidy, seolah-olah ingin saling mendahului mencapai kenikmatan bersama. Perempuan cantik itu memeluk punggungku ketat dan kaki kami saling berlilitan. Aku menutup bibirnya dengan bibirku. Kami benar-benar menyatu dalam kenikmatan sore itu.
Kiri-kira sepuluh menit kemudian kami saling melepaskan diri, dan saya merebahkan diri di sisinya, saling menghela nafas panjang. Nafas kepuasan. Langit-langit dan seisi ruangan tetap tenang, sebagai saksi bisu permainan dahsyat itu. Bu Heidy berpaling ke arahku sambil tersenyum.
“Terima kasih ya Ren.. kamu hebat. Saya puas sekali” bisiknya
“Saya Bu yang berterimakasih. Ibu memberi kenikmatan….” kataku disambut dengan anggukan dan senyum manis sambil mengelus bahuku.

“Ya, kita sama-sama”
Inilah pengalaman pertama yang tentu tidak akan aku lupakan sepanjang sejarah hidupku bersama bu Heidy.
Kemudian dia beranjak ke kamar mandi, aku mengikutinya saling membersihkan diri. Kemudian berpakaian kembali. Lalu aku kembali bercengkerama di sofa seperti tadi sambil menikmati teh, sesekali berciuman dan membelai-belai bagian-bagian tubuhnya yang molek itu. Waktu menunjukkan pukul setengah tujuh malam, kami berdua mulai bercumbu lagi, rasa dan perasaan serta nafsu menyatu menghangat kembali. Kami berdua berciuman hebat lagi dan saling meraba pada tubuh kami. Saya meraba mulai dari pahanya, susunya dan selakangannya.
Tangannya merogoh pada celanaku dan mengeluarkan senjataku, kemudian dia menunduk dan mengulum lembut. Adegan yang tanpa aku duga sebelumnya, pertama lidahnya menari-nari pada kepada tititku kemudian mengulum, rasanya nikmat sekali. Lalu kami beranjak ke tempat tidur dimana kami melakukan di babak pertama tadi. Walau tanpa kata-kata, rupanya bu Heidy sepakat dengan hasratku yang makin memuncak ini. Diapun mengikuti alur kegiatan nafsu itu dengan membuka pakaianku satu persatu, akupun membuka pakaiannya, sehingga kami berdua kembali telanjang tanpa pakaian lagi.

Setelah melewati percumbuan yang seru, aku tak sabar, saat menindih tubuhnya langsung memasukkan senjataku pada Vnya yang langsung disambutnya. Penetrasi terjadi kembali kami saling menyerang dan saling menikmati. Di tengah-tengah keasyikan tersebut, tiba-tiba hp bu Heidy berbunyi. Saya sempat tersentak. Masih dalam posisi semula, saya berusaha menggapai hpnya yang ditaruh di meja nakas (set lemari kecil tempat tidur), lalu saya berikan kepada yang empunya hp. Lalu volume speakernya dibesarkan. Dari seberang sana:
“mBak jangan makan dulu ya, aku beli lauk” suaranya dari hp, rupanya suara ibu tiriku.

“Ya. Ini di mana?” jawab bu Heidy
“Masih di toko buku, ini hampir selesai. Paling duapuluh menit sampai rumah” terdengar kata kembarannya bu Heidy itu.
“Ya nggak apa-apa” sahut bu Heidy. Lalu hp di taruh pada tempatnya, dan kami melanjutkan kegiatan lagi, tapi lebih cepat supaya lekas selesai.
Baru saja aku telah mendapatkan kenikmatan yang belum pernah aku pikirkan sebelumnya. Memang saya pernah membayangkan nikmatnya hubungan suami istri kelak, jika sudah mempunyai istri. Beberapa tahun lagi, setelah selesai kuliah atau setelah mendapatkan pekerjaan. Tapi ini, diluar dugaan saya, sore itu tonggak sejarah mengukir, bisa merasakan nikmatnya bercinta bahkan bersenggama dengan seorang perempuan dewasa, cantik lagi. Inilah yang sebenarnya tak terbersit dalam pikiranku sebelumnya. Kejadiannya begitu mengalir bagaikan aliran air yang selalu mencari tempat yang lebih rendah.
Malam harinya saya hampir tidak bisa tidur, pingin rasanya masuk di kamar bu Heidy, mengulang adegan demi adegan seperti tadi. Kami hanya ber-BBMan sampai larut malam.

Pagi harinya, Sabtu, hatiku berbunga-bunga, pikiranku terang benderang, seindah sinar mentari. Betapa indahnya hidup ini. Seperti biasanya aku mengerjakan pekerjaan rumah, mencuci mobil dan mengepel. Ayahku menghampiriku hatiku berdebar, jangan-jangan ia tahu apa yang aku lakukan?
“Ren, kalau kamu capek, cuciannya tidak usah kamu cuci. Biar papa nanti yang cuci” katanya setengah berbisik kepadaku.
“Ya Pa, Rendi baik-baik saja” kataku penuh hormat.
Pagi itu Papa mengantar Remy, sekalian mengantar mama tiriku ke dokter kandungan. Seperti biasanya bila kontrol kandungan hari Sabtu. Mama memang mengandung, entah sudah berapa bulan umur kandungannya, tapi yang jelas perutnya sudah kelihatan mblenduk.
Bu Heidy diajak mama, sekalian nanti jalan-jalan setelah dari dokter, tapi bu Heidy tidak mau.

“Saya di rumah saja, agak pusing nih…” katanya beralasan kepada kembarannya.
Saya agak bertanya dalam hati, perasaanku bu Heidy baik-baik saya, tidak lesu? Apakah pengaruh permainan kemarin sore, terlalu banyak gerak? Sehingga jadi pusing. Ah aku tidak tahu.
Setelah selesai mengepel, akan saya lanjutkan cuci. Bu Heidy menawari minum teh dan makan roti. Tapi cangkirnya cuma satu. “Ini untuk kita berdua, Sayang” katanya.
Setelah minum teh dan makan roti, bu Heidy membantu aku mencuci dan menjemurnya. Kemudian perempuan menyenangkan itu mengajak aku mandi bersama. Asyik…., ada acara mandi bersama segala. Saat mandi tititku tegak bukan kepalang, di bawah guyuran air shower bu Heidy yang berdiri di depanku aku peluk dengan kencang dan aku agak merendah, kemudian menyodokkan senjataku pada Mrs Vnya. Berulang-ulang tapi tidak maksimal masuk dan sering terlepas, lalu kakinya diangkat sebelah, baru bisa masuk. Lelah dalam posisi begini, kemudian perempuan paruh baya itu melepaskan diri dan agak menunduk, sementara tangannya memegang stanlees tempat handuk.
“Masukkan dari belakang” katanya, aku menurut saja.

Wah ini benar-benar seperti di film, pikirku. Enak juga dari belakang, doggy style namanya. Tapi adegan ini tidak berlangsung lama, hanya beberapa kali sodokan saja, dia berdiri dan berkata:
“Sudah, nanti dilanjutkan di kamar” katanya aku menurut saja.
Selesai mandi kami tidak langsung berpakaian, tetapi kembali bergumul di tempat tidur seperti kemarin sore, tentu saja setelah mengeringkan badan dengan handuk. Mengulang adegan demi adegan yang sebenarnya sangat sederhana. Ada barang seperti peluru kendali, kemudian dimasukkan ke lobang, yang bila dilihat sepintas hanya berupa garis vertikal berwarna pink, kita-kira 5 cm, tapi ternyata itu adalah lobang yang mempesona. Dari kegiatan yang sederhana itulah, anehnya membawa dampak luar biasa nikmatnya, terutama bagi yang melakukan. Baik yang punya lobang maupun dan yang memiliki senjata.

Dua-duanya memetik kenikmatan yang hanya boleh dilakukan oleh orang dewasa. Luar biasa! Ingin sekali rasanya melihat kayak apa sebernarnya struktur V ini, lalu aku kubuka pahanya dan membuka vaginanya sambil memainkan jemariku pada lobang berwarna pink itu. Kerajinan tangan ini ternyata membawa efek bagi yang empunya benda ajaib ini, bu Heidy bergelincangan hebat dengan menggerak-gerakkan kedua kakinya kesana kemari dengan mendesis lembut. Setelah puas melihat dan mempermainkan lorong tersebut, aku cium bibirnya. Dia menggapai tititku, benda yang tegak seperti tugu itu dikulum dan lidahnya menari-nari pada kepalanya, dilakukan berulang-ulang. Kontan saja saya bergelincangan hebat, nikmat luar biasa. Sesi berikutnya mengulang seperti semalam, memasukkan dengan lembut tititku pada tempiknya, yang selalu diakhiri dengan kenikmatan hebat.

Sisa satu minggu bu Heidy di rumah, masih sempat kami lakukan walau hanya dua kali, karena ada pihak ketiga, pembantu sudah datang. Kepingin rasanya pada malam-malam buta, saat penghuni rumah tertelap tidur, saya ingin melepas hasratku. Tapi bu Heidy tidak mau. Berbahaya katanya. Aku menurut saja, toh saya sudah beberapa kali merasakannya lagi pula saya harus mematuhinya.
Setelah selesai diklat dua minggu bu Heidy pulang, berat rasanya ditinggalkan perempuan yang pernah memberi pelajaran berharga sekaligus mengasyikkan itu. Membekas rasanya di hatiku. Tapi setelah itu, paling tidak sebulan sekali kami bertemu, bila dia kebetulan ada dinas di kota ini. Setelah selesai urusan dinasnya, pernah beberapa kali dia minta aku untuk menemaninya melepas rindu di sebuah hotel pada siang hari dan baru sore harinya dia pulang ke kotanya atau ke rumah kami menemui kembarannya, bila dia ingin menginap.

Pernah perempuan cantik itu, meminta saya untuk menemaninya saat tugas di kantor pusat, selama seminggu. Saya agak keberatan, bagaimana izinku kepada ayah?
“Tapi kamu libur to?” katanya lewat handphone di saat itu.
“Ya Bu, saya libur”
“Bilang, ada acara kampus atau naik gunung gitu Ren. Saya takut sendirian di hotel, tidak ada yang nemeni”
Akhirnya saya setuju dan kemudian izin kepada ayah dengan alasan naik gunung dan ayah menyetujui. Pada hari yang telah ditentukan kami berdua, sore itu tiba di bandara dari jurusan penerbangan yang berbeda. Kemudian langsung menuju ke sebuah hotel yang dekat dengan kantor pusatnya. Sore itu bu Heidy memakai baju putih polos lengan panjang, ujungnya menjuntai sampai pada pahanya dan celana jeans krem serta kerudung dasar putih corak coklat bermotif. Setelah sampai di kamar, kamu berdua saling berpelukan dan berciuman sejadi-jadinya, melepas rindu selama hampir dua bulan.

“Kita mandi dulu yuk Ren” katanya
Kami melepas rindu sambil saling melepas pakaian, lalu sambil berpelukan menuju kamar mandi. Dari kamar mandi tanpa berpakaian melanjutkan pergumulan, saling mencium dan meraba. Sasaran yang cukup menyenangkan adalah kedua susunya yang menggemaskan. Selain meraba, juga mengedot dan memilin-pilih puntingnya. Kemudian seluruh wajahku kupakai untuk mengusap seluruh gunung kembar milik bu Heidy dan sesekali meremas keduanya dengan lembut. Benar-benar naik gunung nih…!, pikirku. Perempuan cantik berkulit putih bersih itupun, tidak kalah sengitnya. Dia memegang terus tititku yang tegak seperti tugu monas itu, kemudian di emut dan lidahnya menari-nari pada kepala senjata itu dan membawa efek yang luar biasa nikmatnya.

Pergumulan seru, tapi nyaris tak bersuara, hanya desah mendesah di kamar hotel mewah tersebut. Sekarang aku terlentang, bu Heidy mengambil posisi duduk pada pinggangku, sehingga alat seks kami bertemu. Tangannya yang indah itu memegang tititku dan memasukkan, menghujam pada mrs Vnya yang sudah membasah itu. Pinggulnya yang berbentuk indah itu, mulai bergerak memutar dan maju-mundur yang digerakkan secara berulang. Entah sudah sampai berapa putaran, saya tidak tahu, yang jelas setelah lebih dari lima menit putarannya makin keras dan intensif, sampai menggoncang-goncang tubuhku. Lalu kedua tanganku memegang sambil meremas lembut payudaranya yang bergelantungan indah pada dadanya. Dalam waktu berikutnya diiringi dengan desahan panjang dari mulut bu Heidy.

“Ah…uh… eh” desahnya berkali-kali lalu tubuhnya merebah di atas tubuhku, dia orgasme, wajahnya merona merah jambu. Pinggulnya masih bergerak, tapi makin pelan dan akhirnya hanya bergerak, ala kadarnya saja, seperti ular yang baru saja menelan mangsanya.
Setelah beberapa menit bu Heidy menikmati orgasmenya, saya ajak dia berguling tanpa melepas alat seks kami dan saya mulai menindihnya dan memompanya dengan gerakan naik turun, keluar masuk dan kadang berputar lembut. Gerakan ini saya lakukan dengan seluruh rasa dan perasaan, betapa indahnya permainan ini. Kegiatan yang lembut dan mempesona ini diikuti dengan indahnya tubuh bu Heidy yang mengeliat-liat seperti penyanyi ndangdut yang sedang manggung. Karena asyiknya permainan ini, tanpa terasa aku menaiki bu Heidy sudah lebih dari sepuluh menit. Dengan posisi demikian saya yang lelah, bu minta ganti posisi.

Dia berbaring miring memunggungi aku, kaki kanannya diangkat dan lututnya dilipat, saya diminta menusukkan senjataku dari belakang. Aku mendekatkan senjataku pada selakangannya yang terbuka lebar itu, lalu memasukkan. Agak ribet, tetapi menuai kenikmatan tersediri, walaupun gerakannya tidak jauh berbeda dengan tadi. Tanganku berpegangan pada payudaranya dan bibirku mencium ketat pada bibirnya. Seperti apa yang saya katakan pada pengalaman pertama yaitu apapun yang kami lakukan dalam gerakan membawa efek nikmat sekali.
Dan apa yang terjadi? Dengan kenikmatan yang bertubi-tubi itu, maka saya pikir siapapun tidak akan kuat bertahan. Seperti halnya aku, dengan kenikmatan yang tiada tara tersebut, maka dengan hentakan gerakan yang makin kuat dan dahsyat, maka terlepaslah tenaga itu yang ditandai dengan semprotan air maniku masuk dengan dahsyat ke lobang kenikmatan milik bu Heidy yang diiringi dengan kenikmatan yang luar biasa. Sulit untuk digambarkan. Bu Heidy sebagai pihak yang menerima seranganku inipun tidak berbeda, bahkan dia merintih-rintih dengan desahan yang lebih keras karena orgasmenya terjadi bertubi-tubi pula.

“Ah..uh…eh…”
“Keluar Bu?” kataku terengah-engah
“Yah… tiga kali ini…”
Malam itu kami mengulang setiap serangan dan berakhir dengan kenikmatan bersama. Selama seminggu, menemani bu Heidy di hotel kami berdua mengarungi kenikmatan demi kenikmatan.

Kira-kira lima bulan sejak pertama kali aku mengenal hubungan seks bersama bu Heidy, kini di lain pihak mama tiriku melahirkan di rumah sakit. Saya memberi kabar kepada kakak kembarannya, bu Heidy. Dua hari berikutnya bu Heidy muncul bersama suaminya, aku agak kecewa tapi tidak aku tunjukkan. Secara sembunyi-sembunyi bu Heidy tadi sempat mencium saya. Kali ini penampilnnya lain, perutnya mulai membesar juga. Beberapa waktu yang lalu ia mengabariku, bahwa anaknya yang berusia 10 tahun akan punya adik.
Jelasnya dia sedang hamil anak kedua, seperti kembarannya yang kini melahirkan anak kedua, setelah Remy. Sore harinya mereka berangkat ke rumah sakit membezuk mama tiriku, sampai malam. Keesokan harinya seperti biasanya aku mengerjakan pekerjaan rumah, mencuci mobil, tapi ayah melarangku, karena mobilnya masih cukup bersih. Lalu aku mencuci mobil suami bu Heidy yang kotor berat itu. Jam sembilan situasi sepi kembali, ayah dan Remy sudah berangkat. Terakhir suaminya bu Heidy juga pergi entah kemana, katanya ada urusan bisnis dengan temannya.

“Jangan lama-lama Pa” kata bu Heidy kepada suaminya
Kini kami bertiga, bu Heidy, Parmi dan saya. Sementara Parmi mencuci di belakang, saya masuk ke kamar bu Heidy, dan menciumi wanita cantik itu. Diapun menyambut dengan senang dan kami saling berciuman hebat. Maklum sudah cukup lama tidak berjumpa. Tanganku mengelus-elus perutnya yang besar, langsung aku menarik ke bawah cedenya. Ketika gaunnya akan aku buka, dia melarang dan bilang: “Enggak usah dibuka, begini saja. Ada Parmi” katanya lembut, aku menurut saja.
“Kita cepetan aja tapi pelan-pelan” bisiknya lagi.

Tanpa terasa perjalanan indah bersama bu Heidy sudah berlangsung lama sampai aku selesai kuliah. Ketika itu bu Heidy sudah berusia 38 tahun, aku 25 tahun. Dia minta kepada ayahku;
“Om, di kantorku ada lowongan, biar Rendy kerja di sana” kata bu Heidy kepada ayahku di suatu hari dan ayahku setuju. Akupun juga menyambut dengan senang. Kini setelah melalui test yang rumit mulai kantor pusat sampai akhirnya di tempatkan di sebuah kota yang tidak jauh dari kantor bu Heidy. Dan tentu saja saya sering mengunjunginya, semangatnya luar biasa masih seperti dulu. Merajut cerita asyik dan mempesona.
Apabila liburan saya sering main di rumahnya, menyatu bermain dengan kedua anaknya. Pada saat rumah sepi, kami melepaskan rindu mengarungi laut luas kenikmatan dalam bahtera asmara. Rasa dan perasaanku makin dekat dengan bu Heidy, demikian juga dia merasa bagian dariku, walau tidak kelihatan. Tapi di balik itu dia takut apabila di suatu waktu harus berpisah denganku, ketika nanti saya menikah. Dia tidak mau kehilangan aku, perasaankupun tidak jauh berbeda dengannya.

“Aku terlanjur menyukaimu Ren, kita tetap bersama” katanya disuatu waktu
“Oke”
“Jangan lupakan aku Ren”
“Ya, Bu aku akan ingat, aku ingin dekat dengan Ibu selalu. Aku tidak akan melupakan kebaikan ibu. Ibulah pengganti ibuku dan sekaligus kekasihku” kataku mantap. Dia tersenyum bahagia.

Bagai Mana Dengan Ceritanya?
Bagus Bukan!
Bantu Bagikan Cerita Sex Ini Dan Jangan Lupa Untuk Membaca Cerita Sex Lainnya Di Bawah Ini:

Related Posts: